Mahkamah Konstitusi (MK) menolak permohonan pengujian Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2014 tentang Administrasi Pemerintahan (UU Administrasi Pemerintahan) yang diajukan oleh Direktur PT. Nusantara Ragawisata, Richard Christoforus Massa. “Amar putusan mengadili, menolak permohonan Pemohon untuk seluruhnya,” ujar Ketua Pleno Anwar Usman didampingi para hakim konstitusi lainnya dalam sidang pengucapan putusan Perkara No. 77/PUU-XV/2017 pada Rabu (9/5).
Pemohon melakukan pengujian terhadap Pasal 53 ayat (5) UU Administrasi Pemerintahan yang berbunyi, “Pengadilan wajib memutuskan permohonan sebagaimana dimaksud pada ayat (4) paling lama 21 (dua puluh satu) hari kerja sejak permohonan diajukan”. Pemohon telah menghadapi gugatan terkait aset PT Nusantara Ragawisata, terutama aset lahan SHGB Nomor 74/Ungasan dan SHGB Nomor 72/Ungasan yang telah dimenangkan oleh PT Nusantara Ragawisata dengan putusan-putusan pengadilan memutuskan lahan SHGB Nomor 74/Ungasan dan SHGB Nomor 72/Ungasan sebagai milik PT Nusantara Ragawisata. Pemohon mendalilkan jika PTUN Denpasar yang memeriksa permohonan fiktif positif a quo memberikan kesempatan untuk didengar sebagai Tergugat II Intervensi, maka Richard Christoforus dalam kedudukan sebagai Direktur Utama PT Nusantara Ragawisata akan memberikan penjelasan terkait status hukum kedua lahan tersebut.
Mahkamah berpendapat, kasus konkret yang dihadapi Pemohon sehubungan adanya putusan fiktif-positif Pengadilan Tata Usaha Negara (PTUN) Denpasar terkait pencabutan “Keputusan Kepala Kantor Wilayah BPN Provinsi Bali tentang Pembatalan Pendaftaran Peralihan Hak Terhadap Sertifikat Tanah atas Tanah Hak Guna Bangunan” yang telah merugikan Pemohon karena PTUN Denpasar tidak memberi kesempatan Pemohon menjadi Pihak Intervensi.
“Menurut Mahkamah, tanpa bermaksud menilai kasus konkret yang dialami Pemohon, hal tersebut bukan dikarenakan keberadaan Pasal 53 ayat (5) UU Administrasi Pemerintahan bertentangan dengan UUD 1945. Tetapi merupakan penerapan hukum acara dalam pemeriksaan permohonan fiktif-positif dalam peradilan tata usaha negara,” kata Hakim Konstitusi Manahan MP Sitompul yang membacakan pendapat Mahkamah.
Berdasarkan pertimbangan di atas, Mahkamah menilai persoalan kerugian yang didalilkan Pemohon bukan persoalan kerugian konstitusional. Karena dalil pokok kerugian konstitusional Pemohon yang tidak diberikan kesempatan jadi Pihak Terkait (Tergugat II Intervensi) dalam perkara di PTUN Denpasar dengan adanya penolakan Majelis Hakim PTUN Denpasar.
“Sehingga tidak ada hubungan sebab akibat dengan berlakunya norma yang diuji. Pokok kerugian tersebut lebih kepada persoalan implementasi bagaimana hukum acara peradilan tata usaha negara dalam penyelesaian sengketa tata usaha negara in casu perkara Pemohon di PTUN Denpasar,” jelas Manahan.
Selanjutnya Mahkamah menegaskan Pasal 18 ayat (3) dan Pasal 19 UU Administrasi Pemerintahan sama sekali tidak mengatur dan berhubungan dengan upaya hukum. Pasal-pasal tersebut hanya mengatur tentang konsekuensi hukum dari keputusan badan/pejabat pemerintahan yang dikeluarkan atau dilakukan secara bertentangan dengan putusan pengadilan yang telah berkekuatan hukum tetap.
Menimbang oleh karena Pasal 53 ayat (5), Pasal 18 ayat (3) dan Pasal 19 UU Administrasi Pemerintahan sama sekali tidak berhubungan dengan masalah upaya hukum luar biasa dan juga tidak berhubungan dengan pembatasan orang yang berkepentingan untuk menjadi pihak dalam pemeriksaan permohonan fiktif-positif sesuai Pasal 53 UU Administrasi Pemerintahan pada Pengadilan Tata Usaha Negara, maka menurut Mahkamah, dalil yang dikemukakan Pemohon sama sekali tidak relevan sehingga harus dinyatakan tidak beralasan menurut hukum.
“Seandainyapun norma tersebut tetap hendak dikaitkan dengan upaya hukum luar biasa dan kesempatan untuk menjadi pihak dalam pemeriksaan permohonan fiktif-positif, norma-norma a quo sama sekali tidak menghalangi hak pihak-pihak berkepentingan untuk masuk sebagai Pihak Terkait atau Tergugat II Intervensi atau untuk menempuh upaya hukum luar biasa. Oleh sebab itu dalil Pemohon agar norma a quo dinyatakan bertentangan atau bertentangan secara bersyarat dengan UUD 1945 tidak beralasan menurut hukum,” tandas Manahan. (Nano Tresna Arfana/LA)