Undang-Undang Nomor 40 Tahun 2007 tentang Perseroan Terbatas (UU PT) dinilai telah mengakomodasi keberadaan profesi likuidator. Hal ini dikemukakan oleh Direktur Litigasi Peraturan Perundang-Undangan Kemenkumham Ninik Hariwanti dalam sidang lanjutan uji UU a quo yang digelar Mahkamah Konstitusi (MK), pada Selasa (8/5).
Ninik membantah adanya ketidakjelasan rumusan dalam Pasal 149, Pasal 150, Pasal 151 dan Pasal 152 UU PT terutama mengenai kata “likuidator”. Ia menambahkan pasal-pasal tersebut justru merupakan landasan hukum bagi likuidator dalam menjalankan profesinya. “Pasal itu selain sebagai landasan hukum juga menjadi jaminan perlindungan hukum bagi profesi likuidator. Sehingga likuidator menjalankan fungsi dan tugasnya dijamin oleh undang-undang,” jelasnya dalam sidang yang dipimpin Ketua MK Anwar Usman tersebut.
Selain itu, Ninik menyatakan tuntutan Pemohon agar profesi likuidator dapat setara dengan profesi lainnya seperti kurator, tidak berdasar. Dia menyebut kedudukan antar dua profesi tersebut hakikatnya sudah setara secara hukum. “Kata ‘atau’ dalam rumusan aturan UU a quo sifatnya pilihan. Jadi bersifat sama dan tidak dibedakan antar keduanya,” kata Ninik menanggapi Perkara Nomor 29/PUU-XVI/2018 tersebut.
Adapun pandangan Pemohon tentang tidak adanya sertifikasi profesi bagi likuidator, Nanik menyebut hal itu merupakan ranah organisasi profesi. Ia menyebut tiap organisasi profesi diberikan kebebasan untuk membangan landasan profesi, batasan-batasan profesi, kualifikasi profesi, dan ambang batas kemampuan teknis profesi. “Dalam melaksanakan kewenangan profesi likuidator maupun kurator, UU PT memberikan sifat independen untuk menunjukkan keprofesionalitasannya sebagai organ profesi,” tegasnya.
Sejumlah likuidator tercatat sebagai Pemohon perkara Nomor 29/PUU-XVI/2018 tersebut. Pemohon mempermasalahkan ketiadaan persyaratan jelas terkait profesi likuidator. Hal ini menyebabkan ketidakpastian hukum dan ancaman kriminalisasi terhadap profesi Pemohon. Pemohon menyebut kerugian faktual yang dialami adalah banyak likuidator yang bukan Warga Negara Indonesia (likuidator asing) atau lembaga likuidator asing melakukan praktik likuidasi terhadap perseroan-perseroan berbadan hukum Indonesia atau perseroan-perseroan asing yang ada di Indonesia. Di sisi lain, kerugian potensial yang dapat dialami para likuidator adalah tidak adanya perlindungan hukum akibat ketidakjelasan definisi likuidator. Hal ini dinilai menyebabkan profesi likuidator mudah dikriminalisasi. (ARS/LA)