Perdebatan dan saling sanggah mewarnai sidang lanjutan pengujian Pasal 34 Ayat (2a) huruf b Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2007 tentang Perubahan Ketiga Atas Undang-Undang Nomor 6 Tahun 1983 tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan (UU KUP) dan Penjelasan pasal tersebut terhadap UUD 1945. Sidang yang digelar selama satu hari penuh pada Rabu (27/2) di gedung MK, Jakarta, tersebut menghadirkan beberapa ahli hukum, keuangan, ekonomi dan perpajakan, baik yang dihadirkan oleh Pemerintah maupun Pemohon.
Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) selaku Pemohon, menghadirkan ahli ekonomi Faisal Basri, S.E. dan Dr. Imam Sugema, ahli pemeriksaan keuangan Drs. Ahmadi Hadisubroto, M.Sc., ahli hukum administrasi negara Prof. Dr. Philipus M. Hadjon, ahli hukum tata negara Denny Indrayana, Ph.D., dan ahli hukum ilmu perundang-undangan Prof. Frans Limahelu, S.H., LL.M. Sementara Pemerintah antara lain menghadirkan ahli hukum pajak Prof. Dr. Gunadi, ahli pemeriksaan keuangan negara Prof. Dr. Satrio Budihardjo Joedono dan Drs. Soedarjono, ahli pemeriksaan keuangan Drs. Kanaka Puradiredja, serta ahli HAM Abdul Hakim Garuda Nusantara, S.H., LL.M. Selain itu, Pemerintah juga menghadirkan dua orang saksi, yakni Rhenald Kasali (akademisi) dan Fred Tumbuan (advokat/konsultan).
Imam Sugema menjelaskan bahwa ketentuan yang diatur dalam UU KUP Pasal 34 Ayat (2a) huruf b dan Penjelasannya berpotensi menghambat proses reformasi birokrasi di lingkungan pemerintahan, khususnya Direktorat Jenderal Pajak (DJP). Imam juga mengatakan data dan informasi mengenai wajib pajak yang dapat diakses oleh auditor sebagaimana diatur oleh UU KUP tersebut adalah informasi yang bersifat umum dan sangat tidak sesuai dengan standar untuk keperluan auditor.
âData yang diperlukan oleh auditor adalah data mengenai angka dan uang. Namun dalam Penjelasan Pasal 34 Ayat (2a) huruf b UU KUP tersebut justru data yang tidak relevan dengan kepentingan auditor. Dan karenanya menurut hemat kami penjelasan ini telah mengurangi kewenangan konstitusional BPK sebagai auditor general dan kedua telah mengurangi hak konstitusional dari wajib pajak yaitu hak atas milik pribadi yang berupa identitas wajib pajak,â ujar Imam.
Sementara ahli ekonomi Pemohon lainnya Faisal Basri mengemukakan beberapa negara yang institusi politik dan ekonominya baik di masa yang lalu ternyata saat ini telah menjadi negara yang kaya. Menurut Faisal, untuk menciptakan kualitas institusi tersebut di antaranya adalah prosedur business regulation yang tertata, termasuk di dalamnya perpajakan. âOleh karena itulah saya menganggap bagian dari upaya memperkuat institusi ini dengan cara membatalkan pasal yang dimohonkan,â katanya
Ahli ekonomi dari Universitas Indonesia ini juga membeberkan contoh bahwa bangsa Indonesia telah tertinggal jauh dari segi perekonomian bila dibandingkan dengan negara-negara tetangga lainnya. Salah satu yang menjadi penyebab, menurut Ekonom yang sempat aktif di dunia politik ini, adalah karena penerimaan negara dari sektor pajak tidak dikelola secara optimal.
Mendukung pendapat tersebut, ahli hukum administrasi negara Universitas Airlangga Prof. Dr. Philipus M. Hadjon mengatakan Penjelasan Pasal 34 Ayat (2a) huruf b UU KUP bertentangan dengan Pasal 23E Ayat (1) UUD 1945. Hadjon berpendapat kewenangan BPK merupakan kewenangan atribusi karena diberikan oleh UUD 1945. Kewenangan tersebut dijabarkan melalui Pasal 9 UU Nomor 15 Tahun 2006 tentang BPK (UU BPK). Menurut Hadjon, Penjelasan Pasal 34 Ayat (2a) UU KUP telah membatasi wewenang BPK sebagaimana diberikan Pasal 9 UU BPK.
âDalam Pasal 9 Ayat (1) UU BPK dikatakan BPK berwenang menentukan obyek pemeriksaan, sedangkan dalam Penjelasan Pasal 34 Ayat (2a) huruf b UU KUP, BPK terikat hanya pada materi apa saja yang boleh diberikan (tercantum dalam Penjelasan tersebut âred),â kata Hadjon.
Hal yang sama juga dikemukakan oleh Denny Indrayana. Denny menilai penetapan Menteri Keuangan terhadap pejabat pajak yang dapat memberikan informasi kepada auditor BPK telah bertentangan dengan prinsip âbebas dan mandiriâ yang dimiliki oleh BPK. Lebih jauh Denny juga berpendapat pembatasan tersebut berpotensi menghadirkan penguasa yang sewenang-wenang dan menutup diri dari pemeriksaan publik.
Langgar HAM Wajib Pajak
Berbeda dengan pendapat-pendapat tersebut, mantan Ketua BPK yang dihadirkan oleh Pemerintah, Satrio Budihardjo Joedono justru menganggap BPK tidak berwenang mengaudit keuangan pribadi warga negara. Menurutnya data dan informasi wajib pajak yang diatur dalam ketentuan Penjelasan Pasal 34 Ayat (2a) UU KUP merupakan wilayah keuangan pribadi. âSedangkan wewenang BPK adalah melakukan audit terhadap keuangan negara,â ujarnya.
Menurut pria yang akrab dipanggil Billy Joedono ini, wilayah keuangan negara dalam perpajakan adalah terbatas pada jumlah yang disetor WP dalam Surat Setoran Pajak (SSP). Sedangkan Surat Pemberitahuan Pajak Tahunan (SPT) mengatur mengenai keuangan pribadi WP yang kerahasiaannya dijamin oleh undang-undang. Pemberian kewenangan BPK untuk memeriksa keuangan pribadi WP, menurut Billy, juga akan menimbulkan ketidakpastian hukum bagi WP.
âApabila saya diperiksa oleh pejabat pajak dan pejabat BPK maka timbul ketidakpastian hukum, siapa yang benar? Kalau BPK setuju dengan SPT saya, sementara pejabat pajak tidak, siapa yang lebih benar? Padahal kepastian hukum itu dilindungi Pasal 28 ayat (1) Undang-Undang Dasar,â ujarnya.
Lebih lanjut Billy juga menilai BPK justru mempersoalkan ketentuan yang sebenarnya menjadi pintu masuk bagi BPK untuk melakukan audit terhadap penerimaan pajak. Sedangkan ketentuan yang secara tegas membatasi pejabat pajak untuk memberi informasi kepada pemeriksa, yakni Pasal 34 Ayat (1) dan Ayat (2) justru tidak dipersoalkan oleh BPK.
Sementara Abdul Hakim Garuda Nusantara juga menganggap data dan informasi mengenai wajib pajak merupakan hak properti pribadi WP yang keberadaan dan kerahasiaannya dijamin oleh UUD 1945. Data dan informasi tersebut diberikan WP kepada petugas pajak adalah untuk keperluan perhitungan pajak, dan petugas pajak diwajibkan oleh undang-undang untuk menjaga kerahasiaan data tersebut. Sehingga, âPemberian akses data WP kepada BPK tanpa penetapan Menteri Keuangan atau Pemerintah adalah perbuatan melanggar hak asasi manusia WP,â tegas Hakim.
Mantan Ketua Komnas HAM ini juga menilai pemberian akses kepada BPK untuk memeriksa data pribadi WP akan memunculkan risiko ganda bagi WP, yakni ketidakadilan dan ketidakpastian hukum.
Sedangkan ahli hukum pajak Prof. Gunadi berpendapat perlindungan terhadap rahasia WP menjadi hak yang lazim ada dan diterapkan dalam sistem perpajakan di negara manapun. Gunadi juga menilai perlindungan terhadap rahasia WP merupakan bentuk perlindungan hak milik WP dari kesewenangan negara yang mungkin timbul. Selain itu, âPerlindungan tersebut juga akan dapat meningkatkan kepatuhan WP untuk membayar pajak,â tambahnya.
Sementara salah seorang saksi WP yang dihadirkan oleh Pemerintah, Rhenald Kasali, mengaku secara sukarela memberikan data-data pribadi miliknya kepada petugas pajak sebagai bentuk kepatuhan seorang warga negara akan kewajibannya. Namun ia merasa khawatir bila data-data pribadinya yang bersifat rahasia tersebut dapat diakses oleh publik, maka akan dimanfaatkan oleh pihak-pihak yang tidak bertanggung jawab dan membahayakan dirinya.
âBila data yang sudah dipercayakan tersebut diberikan oleh petugas pajak kepada pihak lain, apalagi berpotensi untuk dilakukan pemeriksaan ulang, maka dapat diprediksi kesadaran WP untuk membayar pajak akan berkurang,â ujar pria yang berprofesi sebagai dosen ini khawatir.
Pada akhir persidangan, Ketua Majelis Hakim Konstitusi Jimly Asshiddiqie berharap apapun putusan terhadap perkara pengujian perkara ini, kedua pihak baik Pemerintah maupun BPK, untuk dapat merundingkan mengenai teknis pemeriksaan atas keuangan negara sektor pajak ini. âKarena ini menyangkut masalah negara,â ujar Jimly.[ardli]