Sidang perbaikan permohonan pengujian Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilihan Umum (UU Pemilu) digelar Mahkamah Konstitusi (MK) pada Senin (7/5) siang. Permohonan yang diajukan oleh Martinus Butarbutar dan Risof Mario ini teregistrasi dengan Nomor 33/PUU-XVI/2018.
Dalam sidang tersebut, Pemohon menjelaskan telah memperbaiki permohonan sesuai saran panel hakim pada sidang sebelumnya. Pemohon menyatakan telah memperbaiki permohonan sesuai format permohonan MK. Selain itu, Pemohon mengubah jumlah pasal yang diuji. “Pasal yang kami uji dalam Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 tidak lagi tiga pasal, tetapi menjadi dua pasal saja, yaitu Pasal 227 dan Pasal 229. Pasal 169, kami batalkan, Yang Mulia,” ungkap Martinus di hadapan panel hakim yang dipimpin oleh Hakim Konstitusi Saldi Isra tersebut.
Selanjutnya, Pemohon juga mengajukan adanya putusan sela atau provisi sebelum menjatuhkan putusan akhir. “Agar Mahkamah Konstitusi memerintahkan kepada Komisi Pemilihan Umum Republik Indonesia untuk menunda penerimaan pendaftaran bakal calon presiden dan wakil presiden. Setidak-tidaknya sampai adanya putusan Mahkamah Konstitusi dalam perkara a quo yang berkekuatan hukum tetap,” tegas Martinus.
Pada sidang pendahuluan, Pemohon menguji Pasal 169, Pasal 227, Pasal 229 UU Pemilu yang dianggap merugikan hak-hak konstitusional Pemohon karena tidak menyertakan Dewan Perwakilan Daerah (DPD) dalam penentuan Calon Presiden (Capres) dan Wakil Presiden (Wapres). Dalam permohonannya para Pemohon mendalilkan bila sejarah telah memberikan hak konstitusional dari seluruh rakyat, yaitu orang bangsa Indonesia asli dan diakui dalam UUD 1945, melalui utusan daerah yang kemudian bermetamorfosa menjadi DPD. UU Pemilu dianggap telah merugikan hak konstitusional Pemohon.
Menurut Pemohon, persyaratan calon presiden dan wakil presiden telah melanggar dan tidak sesuai dengan Pembukaan Undang-Undang Dasar 1945 yang mensyaratkan Konstitusi terjadi oleh sebuah perjuangan panjang, perlawanan, dan perang dari masyarakat Indonesia yang oleh Undang-Undang Dasar 1945 patut diyakini sebagai masyarakat orang Indonesia asli.
Hal demikian, menurut Pemohon, merupakan pengenyampingan hak orang-orang bangsa Indonesia asli dalam menentukan pemimpin bangsa, karena tidak mengakomodir kedudukan konstitusional orang-orang bangsa Indonesia asli sebagaimana diatur dalam Pasal 26 UUD 1945 yang mengakui sejarah berdirinya negara Indonesia oleh orang-orang Indonesia asli. (Nano Tresna Arfana/LA)