Sejumlah mahasiswa yang tergabung dalam Badan Eksekutif Mahasiswa (BEM) Fakultas Hukum (FH) Universitas Diponegoro menerima materi pelaksanaan demokrasi di sejumlah negara termasuk di Indonesia. Penyampaian materi tersebut diterima ketika mereka mengunjungi Mahkamah Konstitusi (MK) pada Rabu (2/5) siang.
“Saya berani mengatakan bahwa Indonesia adalah negara yang paling demokratis. Saya bisa saja salah, ketika banyak orang mengatakan Amerika yang menjadi rujukan demokrasi. Saat Pemilu di Amerika, kalau dilakukan melalui pemilihan langsung, pasti Donald Trump tidak jadi Presiden karena popular vote ada di Hillary Clinton,” jelas Peneliti MK Nallom Kurniawan selaku narasumber.
Dikatakan Nallom, Pemilu di Indonesia saat ini dilakukan dengan cara one man, one vote, one value. “Satu orang warga negara memiliki hak yang sama dengan warga negara lain. Dari situ saya berani katakan Indonesia adalah negara demokrasi terbesar di dunia,” urai Nallom.
Nallom melanjutkan, tantangan sebuah demokrasi adalah heterogenitas, keberagaman, keanekaan dari segi budaya, suku bangsa, agama, dan sebagainya. Seperti terjadi di Indonesia yang memiliki 17.000 gugusan pulau dan jumlah penduduk sekitar 250 juta orang. “Silahkan adik-adik mahasiswa coba cari negara mana di dunia yang keberagamannya lebih tinggi dari Indonesia?” kata Nallom setengah mempertanyakan.
Selain itu, Nallom juga membandingkan pelaksanaan demokrasi di beberapa negara. Misalnya di Thailand, pucuk pimpinan di sana dikuasai oleh junta militer karena sebelumnya terjadi kudeta. Kemudian di Malaysia terjadi kriminalisasi terhadap lawan politik dari penguasa di sana. “Sedangkan di China, Xi Jinping bisa menjadi presiden seumur hidup. Vladimir Putin juga menjadi presiden seumur hidup,” imbuh Nallom.
Selain menyinggung masalah demokrasi di dunia, Nallom juga menerangkan penegakan konsep negara hukum melalui lembaga peradilan. “Mari kita tengok sejarahnya. Ketika kita bicara masalah sukses kepemimpinan, apa yang terjadi saat suksesi kepemimpinan dari masa orde lama ke orde baru, apakah melalui proses hukum atau tidak? Ternyata tidak ada proses hukum. Padahal dalam UUD 1945 sebelum dilakukan amandemen, dalam penjelasan disebutkan Indonesia adalah negara hukum,” papar Nallom.
Suksesi kepimpinan dari Presiden Soeharto ke Presiden Habibie, sambung Nallom, juga tidak melalui proses hukum. Tapi melalui gerakan massa, termasuk para mahasiswa untuk melengserkan Soeharto. “Padahal suksesi kepemimpinan yang baik seharusnya tidak dilakukan dengan cara demonstrasi,” ucap Nallom.
Oleh sebab itu, kata Nallom, agar penegakan konsep negara hukum berjalan dengan baik, maka perlu satu lembaga yang memiliki kewenangan untuk men-challenge manakala kepemimpinan dianggap melanggar undang-undang atau Undang-Undang Dasar.
“Itulah lahirnya Mahkamah Konstitusi yang diberikan kewenangan untuk melakukan pemakzulan terhadap Presiden dan atau Wakil Presiden apabila diduga melakukan perbuatan melanggar hukum,” tandas Nallom. (Nano Tresna Arfana/LA)