Muhammad Hafidz yang merupakan Pemohon perseorangan yang mempertegas kedudukan hukum dirinya selaku Pemohon Nomor 30/PUU-XVI/2018 dalam sidang perbaikan uji Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilihan Umum (UU Pemilu) pada Senin (30/4) di Ruang Sidang Pleno MK. Menurutnya, adalah hak bagi setiap orang termasuk Pemohon sebagai peserta Pemilu 2014 untuk menjaga original intent pembentukan lembaga negara termasuk DPD.
“Menjadi tidak berimbang apabila Pemohon yang bukan pengurus partai politik dalam konstestasi pemilu yang akan datang bersaing dengan pengurus parpol yang mempunyai struktur organisasi sejak tingkat desa, kecamatan, kabupaten, hingga provinsi,khususnya dalam memenuhi persyaratan dukungan bakal calon anggota DPD,” terang Hafidz di hadapan sidang ynag dipimpin Wakil Ketua MK Aswanto yang juga didampingi Hakim Konstitusi I Dewa Gede Palguna dan Saldi Isra.
Selain itu, Hafidz juga menyempurnakan alasan-alasan permohonan dengan menguraikan lebih rinci mengenai tupoksi DPD sesuai dengan UUD 1945. Di samping itu, Pemohon juga menyampaikan pertimbangan hukum Mahkamah mengenai desain konstitusional DPD dan menyajikan tabel anggota DPD yang bergabung dengan 16 partai politik. Pemohon juga mengutip UU Pemilu yang menegaskan syarat anggota DPD tidak boleh menjadi pengurus partai politik. “Jadi, Pemohon menegaskan ini bukan sekadar open legal policy, tetapi betul-betul adanya kepentingan politik pembuat undang-undang untuk mengikis terciptanya DPD sebagai pilar demokrasi lokal,” jelas Hafidz.
Pada sidang sebelumnya, Pemohon menguraikan keberadaan dirinya dalam lembaga DPD yang merupakan representasi masyarakat lokal untuk mewakili daerahnya menyatakan Pasal 182 huruf I sepanjang frasa “pekerjaan lain” mengandung ketidakjelasan maksud. Sebab, sebagai fungsionaris parpol berikut juga sebagai anggota DPD yang memiliki jabatan, tugas, fungsi, tanggung jawab, dan kewenangan kepengurusan di parpol sudah dapat dipastikan akan mengalami konflik kepentingan di antara kedua jabatan tersebut. Dengandemikian, menurutnya sangat terbuka kemungkinan adanya konflik kepentingan meskipun parpol yang menjadi wadah aspirasi politiknya tidak ikut menjadi peserta pemilu. Hal tersebut juga dapat dimungkinkan terjadi karena masih adanya kemungkinan bagi parpol yang dimaksud pada pemilu yang akan datang bagi parpolnya untuk kembali mendaftar jadi peserta pemilu. (Sri Pujianti/LA)