Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) memiliki peranan penting pada proses pembentukan perjanjian ekonomi internasional. Hal ini disampaikan Cenuk Widiyastrisna Sayekti selaku Ahli Pemohon menanggapi ketentuan Pasal 9 ayat (2) Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2000 tentang Perjanjian Internasional (UU Perjanjian Internasional) sepanjang frasa “dilakukan dengan undang-undang atau keputusan presiden” dalam sidang lanjutan UU Perjanjian Interasional, Senin (30/4) siang.
Cenuk mencontohkan beberapa kasus di sejumlah negara yang menunjukkan perubahan arah kebijakan dagang luar negeri, setelah perjanjian internasional disahkan tanpa melibatkan legislatif pada saat pra negosiasi sampai dengan penandatanganan perjanjian.
“Pada umumnya kewenangan untuk melakukan hubungan internasional termasuk membuat dan mengikatkan diri pada perjanjian internasional merupakan hak Presiden atau lembaga eksekutif. Presiden sepanjang diberikan mandat oleh Konstitusi negaranya untuk membuat perjanjian internasional dengan pihak luar, maka setiap perjanjian yang dibuat adalah sah menurut Konstitusi,” ungkap Cenuk sebagai ahli hukum ekonomi internasional.
Cenuk melanjutkan dalam hal proses pembuatan perjanjian internasional sampai dengan pelaksanaannya tidak ada kesepakatan yang berlaku sama pada setiap negara. Hal ini, lanjutnya, merupakan kewajaran karena memberlakukan perjanjian internasional tunduk pada Konstitusi masing-masing negara.
“Hal mendasar yang menjadi parameter dan kesepakatan bersama negara-negara di dunia adalah Article 26 of The Vienna Convention on The Law of Treaties, dimana negara-negara yang saling mengikatkan diri wajib untuk melaksanakan perjanjian internasional dengan itikad baik,” ucap Cenuk.
Tidak dalam UU
Sementara itu, Irfan R. Hutagalung selaku Ahli Pemohon lainnya, menyatakan persetujuan DPR tidak diwujudkan dalam bentuk undang-undang. “Sebagian pihak mungkin mengatakan bahwa undang-undang dalam konteks ini harus dibaca sebagai undang-undang formal. Pandangan ini juga tidak tepat karena secara normatif dan praktik, proses pembuatan undang-undang dimaksud sama saja dengan proses pembuatan undang-undang materiil,” urai Irfan selaku dosen Hukum Internasional FISIP UIN Jakarta.
Jika dibaca secara saksama, lanjut Irfan, Pasal 9 ayat (2) UU a quo sesungguhnya mengatur tentang cara pengikatan terhadap perjanjian internasional karena pasal tersebut mengatur “pengesahan perjanjian internasional”. Sementara kata “pengesahan” artinya menurut Pasal 1 butir 2 UU a quo adalah “perbuatan hukum untuk mengikatkan diri pada suatu perjanjian internasional dalam bentuk ratifikasi aksesi, penerimaan dan penyetujuan.
“Sehingga Pasal 9 ayat (2) Undang-Undang Perjanjian Internasional adalah tentang pernyataan pengikatan diri kepada perjanjian internasional, bukan permintaan persetujuan pemerintah kepada DPR. Namun pernyataan pengikatan diri itu dirumuskan secara keliru karena mencampuradukkan proses internal yang tunduk pada hukum nasional dengan proses eksternal yang tunduk pada hukum internasional,” jelas Irfan terhadap Perkara Nomor 13/PUU-XVI/2018 tersebut.
Sebelumnya, Indonesia for Global Justice (IGJ) bersama 13 Pemohon lainnya menguji Pasal 9 ayat (2) dan sejumlah pasal lainnya dari UU Perjanjian Internasional. Menurut Pemohon, Pasal 9 ayat (2) UU Perjanjian Internasional sepanjang frasa “dilakukan dengan undang-undang atau keputusan presiden” bertentangan dengan Pasal 11 ayat (2) dan Pasal 28D ayat (1) UUD 1945.
Pemohon beranggapan, Pasal 9 ayat (2) UU Perjanjian Internasional telah memberikan pembatasan terhadap pengesahan perjanjian internasional hanya dilakukan dengan undang-undangdan atau keputusan presiden. Berdasarkan Pasal 11 ayat (2) UUD 1945 yang dibutuhkan dalamperjanjian Internasional adalah persetujuan DPR. Undang-undang a quo menggantikan frasa “persetujuan DPR RI” dengan “frasa pengesahandengan undang-undang”. Hal ini berarti hanya melibatkan DPR dalam bagian akhir penyusunan perjanjian internasional.
Selain itu menurut Pemohon, kata “pengesahan” mereduksi kata “persetujuan” dengan DPR sehingga menempatkan DPR di bagian akhir penyusunan perjanjian internasional dengan hanya berperan mengesahkan perjanjian internasional. yang telah dibuat oleh Pemerintah Indonesia. Sehingga Pasal 9 ayat (2) UU Perjanjian Internasionalbertentangan dengan Pasal 11 ayat (2) UUD 1945. (Nano Tresna Arfana/LA)