Sejumlah 28 orang mahasiswa Jurusan Hukum Tata Negara dari Institut Agama Islam Negeri (IAIN) Salatiga hadir mengikuti pemaparan materi dari Peneliti MK Luthfi Widagdo Eddyono di Ruang Delegasi MK pada Kamis (26/4). Melalui Hafidz selaku salah satu dosen pendamping, selain hadir untuk memahami dari sumber pertama mengenai MK, para mahasiswa Jurusan HTN IAIN Salatiga ini pun berharap mendapatkan peluang untuk membangun kerja sama dengan MK. “Selama ini kami tahu MK dari sumber kedua, yakni buku dan televisi, tetapi sekarang kami ingin mengetahuinya dari sumber pertama dan ingin membangun peluang kerja sama dengan MK guna mendukung kegiatan keilmuan hukum tata negara” jelas Hafidz.
Menanggapi harapan pihak tersebut, Luthfi mengarahkan pihak IAIN Salatiga untuk mengajukan proposal ke Humas MK agar mendapatkan informasi lebih jelas. MK, lanjut Luthfi, sangat terbuka dalam kerja sama untuk kebutuhan dan kemajuan akademik bidang hukum dan pemerintahan dengan berbagai kampus serta institusi yang menginginkan MK hadir sebagai pemateri dalam berbagai kuliah umum dan seminar-seminar. Hal ini semata-mata dilakukan guna makin meningkatkan kesadaran konstitusi warga negara terhadap hak konstitusionalnya.
Selanjutnya, dalam pemaparan berjudul “Mahkamah Konstitusi dan Kelembagaan Negara”, Luthfi mengenalkan para rombongan mengenai MK dalam hubungannya dengan kelembagaan negara yang lainnya. Sebelum dilakukannya amendemen UUD 1945, di Indonesia setelah UUD 1945 terdapat lembaga tertinggi negara, yakni MPR. Barulah pada 2002 dengan adanya amendemen UUD 1945, semua lembaga negara seperti MPR, DPR, MA, dan lembaga negara lainnya yang keberadaannya terdapat dalam UUD 1945 memiliki kedudukan yang setara. Di samping itu, lahir pula lembaga negara yang wewenangnya bersifat delegatif dan atributif, seperti KPK. Selain itu, melalui perubahan ketiga UUD 1945 lahir pula kekuasaan kehakiman yakni MK yang keberadaannya setara dengan Mahkamah Agung.
Berikutnya, Luthfi mengajak para rombongan untuk mendalami sejarah terbentuknya MK berdasarkan Pasal 24C UUD 1945. Melalui norma tersebutlah MK dengan salah satu kewenangan melakukan constitutional review. “Artinya, MK dan MA berbeda dalam aktivitasnya, di mana MK berwenang untuk melakukan pengujian UU terhadap UUD 1945, sedangkan MA berwenang menguji perundang-undangan di bawah UU,” terang Luthfi.
Kemudian, Luthfi menjelaskan mengenai penyelesaian PHP Kada yang menjadi bagian dari kewenangan MK. Sebenarnya, Pilkada merupakan ranah dari rezim pemerintah daerah yang dilaksanakan secara demokratis, baik melalui penunjukan oleh DPRD atau dapat pula dilakukan dengan pemilihan umum. “Jadi, penyelesaian perkara pilkada sejauh berkaitan dengan perselisihan hasil pemilihannya menjadi kewenangan MK sampai terbentuknya badan khusus dalam menangani perkara ini,” jelas Luthfi.
Atas beragamnya bentuk pengujian undang-undang yang ada di MK, Luthfi mengajak para mahasiswa untuk memanfaatkan fasilitas yang ada dalam laman www.mahkamahkonstitusi.go.id. Pada laman tersebut, masyarakat termasuk para mahasiswa dapat lebih memahami hak konstitusionalnya karena dapat mengikuti dan mendapatkan berbagai informasi mengenai MK. Tak hanya itu, Luthfi pun mengajak para mahasiswa dan para dosen untuk turut mengirimkan tulisan dalam rubrik Opini atau Resensi di Majalah Konstitusi yang terakreditasi LIPI dan Dikti.
Pemilu Serentak
Dalam sesi tanya jawab, Edi Prabowo, salah seorang mahasiswa menanyakan perihal Pasal 22E ayat (1) yang menyatakan pemilihan umum dilaksanakan secara luber (langsung, umum, bebas, rahasia) yang sifatnya hierarki. Namun, pada 2018 dan 2019 ini, pemilu dilaksanakan serentak dan pemilu terkesan dilaksanakan sebanyak 2 kali. Atas pertanyaan tersebut Luthfi menjelaskan bahwa dalam tatanegara, pilkada merupakan rezim pemerintah daerah sehingga pemilihannya dapat dilakukan berbeda atau sama dengan pemerintah pusat. Namun, kemudian MK mengubahnya dengan dilaksanakannya pemilihan umum serentak, yang diawali sejak 2015 lalu dan termasuk 2018 serta 2019 nantinya. “Perlu diingat, hal itu dilakukan untuk efisiensi dan menguatkan konsepsi presidensial di Indonesia,” jelas Luthfi. (Sri Pujianti/LA)