Permohonan pengujian aturan kuasa hukum wajib pajak seperti yang tercantum dalam Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2007 tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan (UU KUP) dikabulkan sebagian oleh Mahkamah Konstitusi (MK) pada Kamis (26/4) sore.
“Amar putusan mengadili, mengabulkan permohonan Pemohon untuk sebagian. Menyatakan frasa “pelaksanaan hak dan kewajiban kuasa” dalam Pasal 32 ayat (3a) Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2007 tentang Perubahan Ketiga Atas Undang-Undang Nomor 6 Tahun 1983 tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan sebagaimana telah diubah terakhir dengan Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2009 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 5 Tahun 2008 tentang Perubahan Keempat Atas Undang-Undang Nomor 6 Tahun 1983 tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan Menjadi Undang-Undang bertentangan dengan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 secara bersyarat dan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat sepanjang tidak dimaknai hanya berkenaan dengan hal-hal yang bersifat teknis-administratif dan bukan pembatasan dan/atau perluasan hak dan kewajiban warga negara,” ujar Ketua Pleno Anwar Usman didampingi para hakim konstitusi lainnya dalam sidang pengucapan putusan, Kamis (26/4) sore.
Petrus Bala Pattyona selaku Pemohon mengajukan pengujian Pasal 32 ayat (3a) UU Perpajakan yang berbunyi, “Persyaratan serta pelaksanaan hak dan kewajiban kuasa sebagaimana dimaksud dalam Pasal 32 ayat (3) diatur dengan atau berdasarkan peraturan Menteri Keuangan.” Penjabaran dari Pasal 32 UU KUP ditetapkan dengan keputusan Menteri Keuangan yang pada pokoknya diatur dalam peraturan Menteri Keuangan sebagai penjabaran Pasal 32 ayat (3a) UU KUP berbunyi, “Untuk menjadi kuasa hukum, haruslah konsultan hukum.” Pemohon beranggapan, ketentuan Pasal 32 ayat (3a) UU KUP merugikan atau berpotensi merugikan hak konstitusional Pemohon, yaitu atas hak pekerjaan dan penghidupan yang layak, hak untuk bekerja serta mendapat imbalan, hak atas pengakuan, jaminan, perlindungan dan kepastian hukum yang adil serta perlakuan yang sama di hadapan hukum. Adanya ketentuan Pasal 32 ayat (3a) UU KUP menimbulkan potensi kerugian Pemohon akibat adanya kewenangan mutlak Menteri Keuangan untuk menentukan persyaratan serta pelaksanaan hak dan kewajiban kuasa.
Terhadap dalil tersebut, Hakim Konstitusi I Dewa Gede Palguna yang membacakan pendapat Mahkamah permohonan Pemohon menitikberatkan terhadapsubstansi pendelegasian dari undang-undang kepada Peraturan Menteri Keuangan Nomor 229 Tahun 2014 sebagai penjabaran Pasal 32 ayat (3a) UU KUP. Mahkamah berpendapat, sesuai dengan sistem pemerintahan presidensial yang dianut oleh UUD 1945, pendelegasian kewenangan mengatur dari peraturan perundang-undangan yang tingkatannya lebih tinggi kepada peraturan perundang-undangan yang tingkatannya lebih rendah secara doktriner tidak boleh bertentangan dengan materi muatan yang secara konstitusional seharusnya menjadi substansi materi muatan dari masing-masing jenis peraturan perundang-undangan tersebut sesuai dengan tingkatan atau hierarkinya.
“Dengan demikian, dalam konteks permohonan a quo, tanpa harus menilai kasus konkret yang dialami Pemohon khususnya berkenaan dengan pemberlakuan PMK 229/2014, Mahkamah berpendapat bahwa memang terdapat kebutuhan untuk mengatur lebih tegas pendelegasian wewenang teknis-administratif “pelaksanaan hak dan kewajiban kuasa” sebagaimana dimaksud dalam Pasal 32 ayat (3a) UU KUP kepada Menteri Keuangan,” jelas Palguna.
Palguna melanjutkan sesuai dengan sifatnya sebagai delegasi yang bersifat teknis-administratif, maka di satu pihak, pengaturan demikian tidak boleh mengandung materi muatan yang merugikan hak wajib pajak dalam memberi kuasa kepada pihak manapun yang dinilainya mampu memperjuangkan hak-haknya sebagai wajib pajak. Pendelegasian kewenangan mengatur hal-hal yang bersifat teknis-administratif bukan dimaksudkan untuk memberikan kewenangan yang lebih (over capacity of power) kepada menteri keuangan, melainkan hanya untuk mengatur lebih lanjut mengenai “syarat dan tata cara pelaksanaan kuasa”. Artinya, sambung Palguna, pengaturan itu tidak boleh berisikan materi muatan yang seharusnya merupakan materi muatan peraturan yang lebih tinggi, lebih-lebih materi muatan undang-undang.
“Oleh karena itu, ada atau tidak ada kasus konkret sebagaimana dialami Pemohon, pendelegasian kewenangan mengenai “syarat dan tata cara pelaksanaan kuasa” sebagaimana diatur dalam Pasal 32 ayat (3a) UU KUP hanya dapat dinyatakan konstitusional jika materi muatannya semata-mata bersifat teknis-administratif,” tegas Palguna.
Oleh karena itu, Palguna menambahkan berdasarkan seluruh pertimbangan di atas telah ternyata bahwa dalil Pemohon mengenai inkonstitusionalitas materi muatan Pasal 32 ayat (3a) UU KUP adalah beralasan menurut hukum untuk sebagian. “Sepanjang frasa “pelaksanaan hak dan kewajiban kuasa” dalam Pasal 32 ayat (3a) UU KUP tidak dimaknai hanya berkenaan dengan hal-hal yang bersifat teknisadministratif, yaitu sepanjang tidak membatasi hak konstitusional warga negara dan bukan pembatasan dan/atau perluasan hak dan kewajiban,” tandasnya. (Nano Tresna Arfana/LA)