Anggota Ikatan Dokter Indonesia (IDI) tidak boleh rangkap jabatan dalam kepengurusan Konsil Kedokteran Indonesia (KKI). Hal ini diputuskan Mahkamah Konstitusi (MK) berkenaan dengan putusan pengujian Undang-Undang Nomor 29 Tahun 2004 tentang Praktik Kedokteran dan Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2013 tentang Pendidikan Kedokteran. Putusan Nomor 10/PUU-XV/2017 ini dibacakan oleh Ketua MK Anwar Usman pada Kamis (26/4) di Ruang Sidang Pleno MK.
“Mengabulkan permohonan para Pemohon untuk sebagian. Menyatakan Pasal 14 ayat (1) huruf a Undang-Undang Nomor 29 Tahun 2004 tentang Praktik Kedokteran yang menyatakan “Jumlah anggota Konsil Kedokteran Indonesia 17 (tujuh belas) orang yang terdiri atas unsur-unsur yang berasal dari: (a) organisasi profesi kedokteran 2 (dua) orang; ...” bertentangan dengan UndangUndang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 dan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat sepanjang unsur “organisasi profesi kedokteran” tidak dimaknai sebagai tidak menjadi pengurus organisasi profesi kedokteran,” ucap Anwar yang didampingi oleh hakim konstitusi lainnya.
Permohonan ini diajukan oleh tiga orang dokter, yakni Judilherry Justam, Nurdadi Saleh, dan Pradana Soewondo. Pemohon menguji ketentuan Pasal 1 angka 4, angka 12, angka 13, serta Pasal 14 ayat (1) huruf a, Pasal 29 ayat (3) huruf d, dan Pasal 38 ayat (1) huruf c UU Praktik Kedokteran. Pemohon juga menguji ketentuan Pasal 24 ayat (1), Pasal 36 ayat (3), dan Pasal 39 ayat (2) UU Pendidikan Dokter. Menurut para Pemohon, kewenangan IDI dalam penerbitan sertifikat kompetensi dan rekomendasi izin praktik dokter menjadikan IDI super body dan super power. Hal tersebut dinilai dapat menciptakan perilaku sewenang-wenang tanpa memerdulikan peraturan perundang-undangan yang berlaku.
Dalam pendapat Mahkamah yang dibacakan oleh Hakim Konstitusi Manahan M.P. Sitompul, Mahkamah berpendapat pengisian anggota KKI harus mempertimbangkan tugas KKI yang berpotensi bersinggungan dengan kepentingan institusi asal anggota KKI. Berdasarkan ketentuan perundang-undangan, lanjutnya, KKI memiliki tugas melakukan registrasi dokter sebagai dasar untuk menerbitkan STR, melakukan fungsi regulasi serta melaksanakan pembinaan terhadap penyelenggaraan praktik kedokteran. Organisasi profesi dokter, dalam hal ini IDI, sebagai salah satu institusi asal anggota KKI memiliki keterkaitan erat dengan tugas-tugas yang diemban KKI khususnya dalam fungsi regulasi karena para dokter yang merupakan anggota IDI merupakan objek dari regulasi yang dibuat oleh KKI.
Di sisi lain, lanjut Manahan, IDI sebagai organisasi profesi dokter juga merupakan salah satu institusi asal anggota KKI. Keadaan ini menimbulkan potensi benturan kepentingan (conflict of interest) dari sisi IDI sebab IDI bertindak sebagai regulator dalam menjalankan fungsi sebagai anggota KKI, pada saat yang sama juga menjadi objek regulasi yang dibuat oleh KKI tersebut. Oleh karena itu, sambungnya, untuk mencegah potensi benturan kepentingan tersebut, maka seyogianya anggota IDI yang duduk dalam KKI seharusnya adalah mereka yang bukan merupakan pengurus IDI untuk mencegah konflik kepentingan. Hal tersebut karena KKI memiliki tiga fungsi, yaitu fungsi registrasi dokter sebagai dasar menerbitkan STR, fungsi regulasi yang terkait dengan profesi dokter, dan fungsi pembinaan. Pada sisi lain, organisasi profesi dokter adalah IDI karena itu keberadaan pengurus IDI pada KKI potensial menimbulkan konflik kepentingan terutama dalam perumusan regulasi. Hal ini, sambungnya, tidak sesuai dengan prinsip kepastian hukum yang adil sebagaimana diatur dalam Pasal 28D ayat (1) UUD 1945.
“Berdasarkan pertimbangan tersebut, dalil para Pemohon berkenaan dengan inkonstitusionalitas keanggotaan KKI dari unsur pengurus organisasi profesi kedokteran, dalam hal ini IDI, dalam Pasal 14 ayat (1) huruf a UU Praktik Kedokteran adalah beralasan menurut hukum, sepanjang unsur “organisasi profesi kedokteran” tersebut tidak dimaknai tidak merangkap jabatan sebagai pengurus IDI,” tegas Manahan.
Sementara terkait dalil Pemohon mengenai sertifikasi dan organisasi profesi, Mahkamah berpendapat keduanya tidak beralasan menurut hukum. (ARS/LA)