Mahkamah Konstitusi (MK) menolak uji materiil aturan tentang penerima santunan asuransi bagi korban kecelakaan yang tercantum dalam Penjelasan Pasal 4 ayat (1) Undang-Undang Nomor 34 Tahun 1964 tentang Dana Pertanggungan Wajib Kecelakaan Lalu Lintas Jalan (UU LLAJ) yang diajukan oleh Maria Theresia Asteriasanti. Putusan Nomor 88/PUU-XV/2017 tersebut dibacakan Ketua Mahkamah Konstitusi (MK) Anwar Usman pada Kamis (26/4) di Ruang Sidang Pleno MK.
Pemohon merupakan warga Surabaya yang meminta MK agar menyatakan kata “luar’ dalam Penjelasan Pasal 4 ayat (1) UU LLAJ tidak memiliki kekuatan hukum mengikat. Dalam permohonannya, Pemohon merasa sangat dirugikan karena PT Jasa Raharja memahami makna Penjelasan Pasal 4 ayat (1) UU LLAJ tidak berlaku untuk kecelakaan tunggal. Pemohon merupakan istri dari Rokhim, korban kecelakaan yang meninggal pada 24 Juli 2017. Suami Pemohon kala itu sedang pulang dari tempat kerja dinihari dan mengalami kecelakaan tunggal. Akan tetapi, ketika Pemohon hendak meminta ganti rugi asuransi atas meninggal suaminya, hal tersebut tidak bisa terwujud. Jasa Raharja mengatakan sesuai dengan Penjelasan Pasal 4 ayat (1) UU LLAJ yang berhak mendapatkan santunan adalah orang yang berada di ‘luar alat angkutan’. Hal tersebut membuat Pemohon kebingungan terkait makna di ‘luar alat angkutan’.
Terkait dalil Pemohon, Mahkamah berpendapat paradigma jaminan sosial yang diatur dalam UU LLAJ sejak awal memang hanya dimaksudkan dan dibatasi untuk kecelakaan terhadap mereka yang berada di jalan di luar alat angkutan dan tidak tercakup kecelakaan tunggal. “Oleh karena pembatasan yang dikemukakan dalam penjelasan Pasal 4 ayat (1) UU 34/1964 linear dengan semangat yang terkandung dalam undang-undang a quo, maka tidak terdapat ketidakpastian hukum terkait keberadaan Penjelasan norma Pasal 4 ayat (1) UU 34/1964 sehingga tidak dapat dijadikan sebagai alasan untuk menyatakan keberlakuannya telah bertentangan dengan Pasal 28D ayat (1) UUD 1945,” ujar Hakim Konstitusi Saldi Isra membacakan pendapat Mahkamah.
Saldi menjelaskan sehubungan dengan kasus konkret yang dialami oleh suami Pemohon termasuk jenis kecelakaan tunggal yang memang tidak dapat ditanggung sesuai dengan UU LLAJ. Meski demikian, lanjutnya, kepada keluarga yang bersangkutan telah diberikan santunan secara ex-gratia sebagai kebijakan perusahaan sesuai dengan Keputusan Direksi Nomor KEP/205.2/2013, tanggal 31 Oktober 2013. Secara sepintas, jelas Saldi, kebijakan tersebut terkesan telah bertentangan dengan pembatasan subjek yang berhak menerima jaminan berdasarkan Pasal 4 ayat (1) UU LLAJ, namun kebijakan tersebut masih dalam kerangka perlindungan terhadap masyarakat dalam kecelakaan lalu-lintas. Saldi menyebut sepanjang santunan secara ex-gratia tidak diposisikan dan tidak dimaksudkan sebagai bagian dari jaminan kecelakaan sesuai undang-undang a quo, maka diskresi itu sama sekali tidak keluar dari yang diatur Undang-Undang dimaksud. “Pemberian santunan secara ex-gratia justru semakin mempertegas bahwa regulasi terkait jaminan sosial kecelakaan yang diatur dalam UU 34/1964 sama sekali tidak mengandung diskriminasi,” tegas Saldi.
Terkait asuransi yang dapat diterima suami Pemohon sebagai korban kecelakaan tunggal, Saldi menerangkan dapat diperoleh dari asuransi kecelakaan kerja sesuai Undang-Undang Nomor 40 Tahun 2004 tentang Sistem Jaminan Sosial Nasional. Dalam konteks ini, sambungnya, kesempatan pemohon untuk memperoleh asuransi terkait kecelakaan yang dialami sama sekali tidak tertutup, melainkan terdapat sarana lain yang lebih sesuai. “Sehubungan dengan itu, dalil Pemohon berkenaan dengan keberadaan Penjelasan Pasal 4 ayat (1) UU 34/1964 telah bertentangan dengan Pasal 28D ayat (1) dan Pasal 28I ayat (2) UUD 1945 adalah tidak beralasan menurut hukum,” tandas Saldi. (Lulu Anjarsari)