Larangan melakukan kegiatan seperti menggunakan GPS pada saat mengemudikan kendaraan di jalan ditujukan untuk melaksanakan konsep keamanan dan ketertiban sebagaimana amanat Pasal 30 ayat (4) UUD 1945. Hal tersebut disampaikan Dirkamsel Korlantas Polri Brigjen Chryshnanda Dwilaksana sebagai Pihak Terkait dalam sidang uji materiil Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2009 tentang Lalu Lintas dan Angkutan Jalan (UU LLAJ). Sidang ketiga perkara dengan Nomor 23/PUU-XVI/2018 ini digelar pada Rabu (25/4) di Ruang Sidang Pleno MK.
Chryshnanda menyampaikan UU LLAJ telah secara tegas mengamanahkan kepada Polri sebagai salah satu pemangku kepentingan untuk berperan aktif dalam upaya penanggulangan masalah kecelakaan lalu lintas di jalan sesuai dengan kewenangan yang ada. Di samping itu, lanjut Chryshnanda, peran tersebut diperkuat dengan UU Polri yang mewajibkan polisi untuk melindungi dan mengayomi masyarakat, termasuk di dalam aktivitas di jalan. Oleh karena itu, Polri selalu melakukan evaluasi untuk menentukan langkah efektif dalam rangka menekan angka kecelakaan lalu lintas. “Dengan demikian, frasa “menggunakan telepon” termasuk dalam melakukan kegiatan lain yang mengganggu konsentrasi pada saat mengemudikan kendaraan bermotor di jalan sudah jelas dan tidak dapat disebut sebagai keinginan sepihak aparat penegak hukum,” terang Chryshnanda.
Sesuai Tata Cara Berlalu Lintas
Selain itu, Chryshnanda juga menerangkan adanya ketentuan pemberian sanksi pidana sebagaimana tercantum pada Pasal 283 UU LLAJ, sama sekali bukan dimaksudkan sebagai upaya balas dendam penegak hukum kepada orang yang telah melakukan suatu tindak pidana, melainkan lebih memiliki tujuan tertentu yang bermanfaat. Pemidanaan di satu sisi dimaksudkan untuk memperbaiki sikap terpidana dan juga untuk mencegah orang lain dari kemungkinan melakukan perbuatan yang serupa atau menjadi korban dari tindak pidana.Harapan dari pemberian sanksi pidana adalah agar setiap pengemudi dapat mengemudi dengan baik dan benar sesuai dengan tata cara berlalu lintas sehingga yang bersangkutan tidak menjadi faktor penyebab terjadinya kecelakaan lalu lintas. “Pengemudi tidak menjadi aktor yang dapat mengancam keselamatan jiwa raga dirinya dan pengguna jalan lain,” terang Chryshnanda.
Memengaruhi Pengemudi
Sementara itu, Staf Ahli Bidang Hukum dan Reformasi Birokrasi Perhubungan Kementerian Perhubungan RI Umar Aris mewakili Pemerintah menyampaikan penggunaan GPS pada saat mengemudikan kendaraan merupakan gabungan dari beberapa kegiatan pengemudi yang dilakukan secara simultan, di antaranya proses berpikir, proses visualisasi untuk menangkap informasi dari GPS, kegiatan melihat kondisi jalan, serta lalu lintas di sekitar. Akibatnya, hal tersebut dapat memengaruhi kemampuan pengemudi dalam berkendara.
Terhadap yang perkara yang dimohonkan Toyota Soluna Community (TSC) dan Pemohon perseorangan ini, Umar menjabarkan apabila para Pemohon mencermati konteks Pasal 106 ayat (1) UU LLAJ pada frasa “sehingga memengaruhi kemampuan dalam mengemudi kendaraan” cukup menjelaskan bahwa penggunaan telepon termasuk fitur-fiturnya tidak dilarang, sepanjang pengemudi tidak sedang mengemudikan kendaraannya. “Sehingga alasan yang disampaikan Pemohon merupakan alasan yang tidak mendasar karena GPS hanya merupakan salah satu fitur di telepon pintar,” jelas Umar di hadapan sidang yang dipimpin Ketua MK Anwar Usman.
Perihal ketentuan pelanggaran terhadap Pasal 106 ayat (1) UU LLAJ diancam dengan ketentuan pidana, Umar menegaskan sebagaimana diatur dalam ketentuan Pasal 283 UU LLAJ merupakan konsekuensi logis dari perbuatan seseorang yang mengabaikan tata cara berlalu lintas yang baik dan benar sehingga mengancam pengguna jalan yang lain. “Maka, terhadap seluruh keberatan para Pemohon, Pemerintah menyatakan penjelasan Pasal 106 ayat (1) UU LLAJ telah memberikan kepastian hukum sesuai dengan perkembangan zaman dan tidak bertentangan dengan Pasal 1 ayat (3) dan Pasal 28D ayat (1) UUD 1945,” jelas Umar.
Dalam permohonannya, Pemohon merasa dirugikan hak konstitusionalnya dengan berlakunya Pasal 106 ayat (1) dan Pasal 283 UU LLAJ. Pemohon menilai ketentuan tersebut bertentangan secara bersyarat terhadap UUD 1945, terutama Pasal 1 ayat (3) dan Pasal 28D ayat (1). Pemohon beralasan bahwa frasa “menggunakan telepon“ pada Pasal 106 ayat (1) UU LLAJ tersebut, sebagai salah satu sebab terganggunya konsentrasi pengemudi kendaraan bermotor haruslah memiliki maksud yang jelas. Sehingga, tidak terjadi multitafsir dalam pemberlakuannya.
Sebelum mengakhiri persidangan, Anwar mengingatkan semua pihak bahwa persidangan berikut akan dilaksanakan pada Rabu, 9 Mei 2018 pukul 11.00 WIB dengan agenda mendengarkan keterangan Ahli dari para Pemohon. (Sri Pujianti/LA)