Mahkamah Konstitusi (MK) menggelar sidang pertama perkara Sengketa Kewenangan Lembaga Negara (SKLN) antara Bank Indonesia (BI) dengan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), Kamis (21/02), di Ruang Sidang Panel Gedung MK, dengan agenda Pemeriksaan Pendahuluan.
Perkara ini dimohonkan oleh BI yang diwakili Gubernur, Dr. Ir. Burhanudin Abdullah,M.A. dengan dilatari pemanggilan yang KPK lakukan terhadap dirinya pada tanggal 22 November 2007 dan pada tanggal 3 Januari 2008 tanpa adanya persetujuan dari Presiden. âSampai saat ini belum ada surat izin pemeriksaan dari Presiden. Padahal menurut Pasal 49 UU Nomor 3 Tahun 2004, pemanggilan, permintaan keterangan,dan penyidikan terhadap Gubernur BI yang diduga melakukan tindak pidana harus terlebih dahulu mendapatkan persetujuan tertulis dari Presiden,â papar Kuasa Hukum BI, Aa Dani Saliswijaya mengenai pokok permohonan kliennya.
Persetujuan tertulis Presiden tersebut diperlukan mengingat pentingnya peran jajaran Dewan Gubernur BI dalam kehidupan perekonomian Indonesia, terutama terkait dengan tugas dan kewenangan BI di bidang moneter, sistem pembayaran, dan pengaturan serta pengawasan bank. Selain itu, persetujuan Presiden ini juga diperlukan mengingat independensi BI selaku bank sentral diatur oleh UU. Namun, ketentuan mengenai persetujuan Presiden tersebut bertentangan dengan kewenangan KPK seperti disebut pada Pasal 46 Ayat (1) UU Nomor 30 Tahun 2002 yang menggugurkan berbagai prosedur khusus yang berlaku dalam rangka pemeriksaan tersangka kasus korupsi.
Karena itulah BI memohon kepada MK untuk menyatakan bahwa Pasal 49 UU Nomor 23 Tahun 1999 Tentang BI sebagaimana telah diubah dengan UU Nomor 3 Tahun 2004 tetap berlaku dan mengikat; menyatakan Pasal 46 Ayat (1) UU Nomor 30 Tahun 2002 tentang KPK bertentangan dengan Pasal 49 UU Nomor 3 Tahun 2004 tentang Perubahan atas UU Republik Indonesia Nomor 23 Tahun 1999 tentang BI; menyatakan bahwa kewenangan Termohon yang bersumber pada Pasal 46 ayat (1) UU Nomor 30 Tahun 2002 tidak berlaku dan tidak memiliki kekuatan hukum; dan menyatakan bahwa kewenangan KPK untuk melakukan pemanggilan, permintaan keterangan, dan penyidikan terhadap seorang Dewan Gubernur BI harus dilakukan dengan persetujuan tertulis dari Presiden.
Menanggapi permohonan BI tersebut, Hakim Konstitusi Abdul Mukhtie Fadjar dan Soedarsono meminta kejelasan mengenai kewenangan BI yang mana yang bertentangan dengan kewenangan KPK. âDi sini kami melihat tidak ada pertentangan kewenangan, yang ada adalah pertentangan antara undang-undang satu (UU BI red) dengan undang-undang yang lain (UU KPK red). MK tidak berwenang menguji undang-undang terhadap undang-undang. Kewenangan MK adalah menguji undang-undang terhadap UUD 1945,â jelas Hakim Konstitusi Prof. Abdul Mukhtie Fadjar, S.H., M.S.
Dengan demikian, lanjutnya, ada dua pilihan pengajuan perkara yang bisa BI ambil yaitu mengajukan perkara SKLN dengan menegaskan kewenangan BI yang mana yang dicurangi oleh KPK atau mengajukan perkara Pengujian UU dengan menjelaskan kerugian konstitusional apa yang BI alami akibat berlakunya UU yang diujikan. Oleh karena itu, sebelum mengakhiri sidang, Hakim Konstitusi Maruarar Siahaan S.H. menyarankan pihak BI untuk mempelajari kembali isi Pasal 61 UU MK mengenai perkara SKLN dan juga mengkaji berbagai Putusan MK tentang UU KPK serta Peraturan MK mengenai perkara SKLN. (Kencana Suluh Hikmah)