Turki menjadi semacam “laboratorium” paling sempurna untuk pembubaran partai politik. Sejak 2008 hingga saat ini, pemerintah Turki sudah membubarkan sebanyak 28 partai politik. Hal ini terjadi akibat permainan politik di negeri itu. Karena banyaknya parpol dibubarkan pemerintah Turki, maka parpol-parpol yang dibubarkan itu mengajukan gugatan ke Pengadilan Hak Asasi Manusia Eropa. Hal ini disampaikan oleh Peneliti Mahkamah Konstitusi (MK) Bisariyadi saat menerima 36 mahasiswa Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik (FISIP) Universitas Siliwangi Tasikmalaya yang berkunjung ke MK, Rabu (25/4) siang.
“Putusan MK Turki yang membubarkan sejumlah partai politik di Turki itu akhirnya dibatalkan oleh Pengadilan Hak Asasi Manusia. Partai politik yang dibubarkan jadi hidup lagi,” ungkap Bisar.
Namun demikian, sambung Bisar, dari 28 parpol yang dibubarkan di Turki hanya satu parpol yang tidak dibiarkan hidup kembali, yakni Partai Refah yang berasaskan Islam. Alasannya, lanjutnya, Turki menganut paham sekulerisme seperti diprakarsai oleh Mustafa Kemal Ataturk.
Lain Turki, lain pula Jerman mengenai partai politik. Dikatakan Bisariyadi, pemerintah Jerman sudah dua kali berusaha membubarkan partai Nationaldemokratische Partei Deutschlands (NDP) pada 2014 dan 2017 karena dianggap inkonstitusional atau bahkan disebut sebagai organisasi neo-Nazi. Meskipun akhirnya upaya membubarkan partai NDP tersebut gagal.
Sedangkan di Indonesia, lanjut Bisar, di masa pemerintahan Bung Karno, ada partai politik yang dibubarkan semisal Partai Masyumi dan Partai Musyawarah Rakyat Banyak (Murba). “Pembubaran parpol di Indonesia, manajemennya ada pembekuan dulu. Misalnya kalau mengkampanyekan kebencian-kebencian di masyarakat hingga melakukan pelanggaran-pelanggaran lainnya,” jelas Bisar.
Terkait dengan salah satu kewenangan MK Republik Indonesia (MKRI) yang memutus pembubaran partai politik, lanjut Bisar, hingga kini MKRI belum pernah menjalankan kewenangan tersebut. Kalaupun terjadi, yang menjadi pemohon adalah pemerintah. Selain itu MKRI belum pernah menjalankan kewenangan memutus pendapat DPR apabila Presiden dan atau Wakil Presiden diduga melakukan pelanggaran hukum maupun perbuatan tercela.
Selain dua kewenangan tersebut, MKRI juga memiliki kewenangan menguji undang-undang terhadap Undang-Undang Dasar, memutus sengketa kewenangan antara lembaga negara yang kewenangannya diberikan UUD 1945, serta memutus sengketa hasil Pemilu Presiden, Pemilu Legislatif dan hasil pemilu kepala daerah.
Sebagaimana diketahui, pada 2008, pembuat undang-undang menyatakan pilkada masuk ke dalam rezim pemilu. Konsekuensinya, sengketa-sengketa pilkada penyelesaiannya dibawa ke Mahkamah Konstitusi. (Nano Tresna Arfana/LA)