Peneliti Mahkamah Konstitusi Helmi Kasim menerima kunjungan 99 orang mahasiswa dan tujuh orang dosen dari Jurusan Ilmu Hukum Fakultas Hukum dan Ilmu Sosial Universitas Pendidikan Ganesha (Undiksa) di Aula Gedung MK pada Selasa (24/4).
Ratna Artha Windari selaku Ketua Jurusan Ilmu Hukum Undiksa menyampaikan tujuan kunjungan adalah untuk mengenal MK lebih dekat dan berharap mendapatkan pemahaman tugas dan fungsi MK dari ahlinya. “Selama ini kami hanya melihat di televisi. Jadi, dengan kunjungan ini berharap Tim MK membantu kami mendapatkan pemahaman langsung mengenai tugas pokok dan fungsi MK sebagai lembaga peradilan konstitusi di Indonesia,” jelas Ratna.
Berkaitan dengan antusias para mahasiswa Undiksa, Helmi pun menjelaskan tidak hanya mahasiswa dari dalam negeri yang datang berkunjung ke MK dan berdiskusi mengenai konstitusi. Mahasiswa serta beberapa praktisi hukum dan konstitusi pun pernah datang ke MK untuk melakukan dialog terbuka dengan para peneliti MK. Berdasar pendapat para tamu, jelas Helmi, MKRI adalah lembaga peradilan konstitusi yang paling efektif di Asia sehingga banyak yang berkeinginan datang melihat aktivitas dari lembaga negara di bidang peradilan konstitusi ini. Untuk itu, Helmi berharap dapat berbagi ilmu dan pemahaman dengan para mahasiswa calon sarjana hukum agar semakin memiliki kesadaran berkonstitusi.
Helmi pun mengajak para mahasiswa berkenalan dengan tugas pokok dan fungsi MK. Dalam salah satu kewenangan MK dalam yudicial review, Helmi menekankan hal tersebut dilakukan guna membatasi kekuasaan Pemerintah. Seperti yang diketahui sebelumnya, jauh sebelum reformasi, produk undang-undang yang dibuat tidak dapat dilakukan pengujian. Sebenarnya, sambungnya, pada masa pembentukan Republik Indonesia, para founding fathers pun telah mengusung adanya lembaga yang dapat melakukan judicial review. Akan tetapi, pelaksanaannya baru terwujud pada 2003 setelah perubahan ketiga UUD 1945. Maka, tambah Helmi, saat ini persidangan yang sering dilakukan di MK tersebut adalah wujud dari kewenangan MK dalam melakukan pengujian UU terhadap UUD 1945.
Pro Kontra Putusan
Pada sesi tanya jawab, Lucas seorang mahasiswa Undiksa menanyakan pro dan kontra masyarakat terhadap putusan MK yang bersifat final dan mengikat. Helmi menjawab adanya pro dan kontra berbagai pihak terhadap putusan yang diucapkan MK dalam putusannya adalah suatu hal yang tak dapat dihindari. Helmi mengambil sebuah adagium hukum, yaitu summum ius summa iniuria (kepastian hukum yang tertinggi adalah ketidakadilan yang tertinggi).
“Jadi, sangat wajar terjadi pro dan kontra terhadap putusannya. Terhadap pihak yang kontra, MK memiliki mekanisme untuk pengajuan kembali perkara yang pernah diajukan. Ada batas ne bis in idem, maka alasan dan landasan dari pengajuan kembali perkara yang sama tersebut harus berbeda,” terang Helmi.
Pada akhir pemaparan, berkaitan dengan polemik yang mungkin saja muncul di masyarakat atas putusan MK, Helmi mengajak para mahasiswa untuk membaca dengan saksama setiap putusan MK dengan pemahaman yang baik. Para calon sarjana hukum, tak hanya membaca putusan di media, tetapi membaca dengan baik lembar demi lembar putusan yang dihasilkan MK. “Sehingga hal pokok dari kehadiran MK bukan saja sebagai lembaga peradilan konstitusi, tetapi sebagai lembaga yang mampu menumbuhkan kesadaran berkonstitusi. Tentu saja kesadaran tersebut dapat tumbuh dengan pahamnya kita terhadap konstitusi, MK, dan hak konstitusional,” tandas Helmi. (Sri Pujianti/LA)