Adanya penentuan 90 hari dalam pengajuan gugatan di pengadilan tata usaha negara merupakan pilihan kebijakan hukum terbuka pembentuk undang-undang yang berlaku bagi semua warga negara Indonesia. Demikian disampaikan Inspektorat Bidang Pengawasan Kejaksaan Agung Oktavianus selaku perwakilan Pemerintah dalam sidang lanjutan pengujian Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1986 tentang Peradilan Tata Usaha Negara sebagaimana yang telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 9 Tahun 2004 dan Undang-Undang Nomor 51 Tahun 2009 (UU PTUN). Sidang ketiga perkara Nomor 22/PUU-XVI/2018 pada Senin (23/4) di Ruang Sidang Pleno MK.
Selanjutnya, terhadap perkara yang dimohonkan Direktur PT Timsco Indonesia S. A. Habibie tersebut, Oktavianus menjabarkan Pasal 55 UU PTUN sesungguhnya pernah diputus MK, yang pada intinya menyatakan tenggang waktu 90 hari telah memberikan kepastian hukum. Setiap undang-undang yang menyangkut keputusan penetapan TUN selalu ditentukan dengan tenggang waktu. Adapun pembatasannya dapat digugat di pengadilan tidak bersifat diskriminatif karena tidak memberlakukan syarat berbeda terhadap hal yang sama.
“Oleh karena itu, batasan tenggang waktu, baik di PTUN, MK, maupun PN bersifat mutlak. Pengajuan gugatan yang terlewat dinyatakan tidak dapat diterima sehingga dalil Pemohon yang menyatakan Pasal 55 UU PTUN tidak memberikan kepastian hukum atas pengujian keputusan TUN tidak beralasan menurut hukum,” jelas Oktavianus.
Sengketa Pertanahan
Sementara itu, Mahkamah Agung yang menjadi Pihak Terkait menyampaikan secara konkret hal yang dialami Pemohon merupakan sengketa kepemilikan yang dalam sistem penyelesaian perkara di PTUN diklasifikasikan sebagai sengketa pertanahan. Marta Satria Putra yang mewakili MA menjelaskan sengketa pertanahan di Indonesia, dimulai dari adanya Keputusan BPN yang menerbitkan pemberian hak atas tanah atau sertifikat hak tanah, yaitu sertifikat atas tanah yang timbul karena penetapan dan hukum adat. Dalam perjalanannya, sertifikat tanah memiliki sisi ganda sebagai keputusan TUN, sekaligus sebagai tanda bukti hak kepemilikan atas tanah. Dengan sisi ganda ini, sengketa TUN dengan sertifikat tanah sebagai objek sengketa terdapat titik singgung kewenangan. “Dengan demikian, dapat dipahami Pasal 55 UU PTUN tidak membatasi hak Pemohon untuk memperjuangkan haknya karena sengketa kepemilikan bukan kewenangan PTUN untuk mengadilinya, melainkan kewenangan peradilan umum,” urai Satria.
Dalam permohonannya, Pemohon menilai frasa “90 hari” dalam Pasal 55 UU PTUN merugikan hak konstitusional Pemohon. Frasa tersebut menyatakan secara konseptual, tenggang waktu 90 hari dalam hukum acara PTUN tersebut termasuk sangat singkat. Apalagi jika dibandingkan dengan ketentuan batas waktu menggugat dalam hukum acara perdata, khususnya ketentuan pasal 835, 1963, dan 1967 KUHPerdata yang tenggang waktunya 30 tahun.
Di samping jangka waktu yang pendek, norma a quo juga dinilai Pemohon, menimbulkan pengeluaran biaya yang banyak dalam mengajukan gugatan kepemilikan atas tanah. Oleh karena itu, batasan tenggang waktu gugatan di PTUN tersebut mutlak diperpanjang seperti yang diatur oleh Surat Edaran Mahkamah Agung (SEMA) Nomor 2/1991, yang mengatur perpanjangan masa tenggang waktu menggugat di PTUN.
Lebih lanjut, Pemohon menjelaskan pada kasus yang dialaminya terlihat aturan yang diberlakukan tidak jelas mengenai batas kedaluarsa gugatan, ada aturan yang menyatakan batas waktu 90 hari (berdasarkan Pasal 55 UU Nomor 5/1986), namun ada lebih dari 4 bulan (Pasal 3 ayat (3) UU Nomor 5/1986), bahkan ada aturan yang menyebutkan kapan saja bisa mengajukan gugatan selama ada kepentingannya dirugikan (SEMA Nomor 2/1991). Ketidaksinkronan antara peraturan perundang-undangan yang satu dengan lainnya menimbulkan ketidakpastian hukum.
Sebelum menutup persidangan, Anwar menyampaikan agenda persidangan berikutnya akan digelar pada Senin, 7 Mei 2018 pukul 11.00 WIB yakni mendengarkan keterangan DPR dan keterangan Ahli serta Saksi dari Pemohon. (Sri Pujianti/LA)