Sejumlah 43 orang mahasiswa yang tergabung dalam Spesialisasi Mahasiswa Anti Korupsi (SIMAK) Sekolah Tinggi Ilmu Administrasi Mandala Indonesia (STIAMI) mendiskusikan tentang sejarah Mahkamah Konstitusi di Indonesia bersama Peneliti MK Pan Mohamad Faiz pada Jumat (20/4) di Ruang Delegasi MK.
Anastasia Hanny Siagian selaku perwakilan SIMAK STIAMI menyampaikan bahwa kehadiran rombongan ke MK tidak lain adalah untuk mendapatkan wawasan dan pemahaman lebih mengenai Konstitusi di Indonesia. “Untuk itu, kami sebagai generasi anti korupsi, sangat ingin memperoleh pemahaman lebih mengenai konstitusi di Indonesia secara langsung dari MK,” jelas Anastasia.
Pada awal pemaparan, Faiz memperkenalkan konsep judicial review yang berawal dari kasus Marbury vs Madison pada 1803 di Amerika Serikat. Peristiwa ini, lanjut Faiz, menjadi peristiwa fenomenal di dunia hukum karena baru pada masa tersebut, undang-undang yang dibuat parlemen dibatalkan oleh lembaga negara yang dikenal dengan Mahkamah Agung. Kemudian baru pada 1919, keberadaan Mahkamah Konstitusi tersebut ‘diperkenalkan’ oleh pakar hukum asal Austria, Hans Kelsen. Sedangkan di Indonesia, pada masa founding fathers, menyusun pendirian bangsa pun telah mencetuskan adanya lembaga yang dapat membanding undang-undang. Akan tetapi, ide tersebut baru terealisasikan menjadi sebuah lembaga negara pada 2003 dengan adanya Perubahan UUD 1945 yang selanjutnya ditegaskan dalam Pasal 24C yang memuat ketentuan tentang MK.
Faiz pun mencontohkan tiga model pengujian undang-undang dari kewenangan MK di beberapa negara selain Indonesia. Di Prancis misalnya, pengujian undang-undang dapat dilakukan sejak undang-undang masih dalam tahap rencana undang-undang (judicial preview), sedangkan di Afrika pengujian undang-undang dapat dilakukan sebelum dan sesudah undang-undang disahkan oleh pembuat undang-undang. “Jadi, ada tiga model pengujian undang-undang. Pertama, seperti yang kita kenal di Indonesia bahwa UU dapat diuji setelah undang-undang disahkan, kemudian yang kedua ada model yang sebelum disahkan seperti di Prancis, dan ketiga ada yang sesudah dan sebelum UU disahkan,” urai Faiz.
Selanjutnya, Faiz menjabarkan sistem judicial review dan kewenangan MK serta hierarki perundang-undangan di Indonesia. Berkaitan dengan kewenangan MK, Faiz mengajak para mahasiswa untuk memahami betul mengenai salah satu kewenangan MK dalam penyelesaian perkara Pilkada. Penting bagi para mahasiswa, karena pada 2019 nanti, akan diadakan Pemilu Serentak 2019 dengan sistem lima kotak. Artinya, berbeda dengan Pemilu 2014, Pemilu Serentak 2019 akan menggunakan lima kotak suara karena Pemilu tidak hanya memilih anggota DPR, DPD, DPRD Provinsi dan DPRD Kabupaten saja, tetapi sekaligus memilih Pasangan Calon Presiden dan Wakil Presiden. Keterkaitan Pemilu tersebut dengan MK adalah kewenangan MK dalam menyelesaikan perkara perselisihan yang terjadi dalam pemilu nantinya. Mengutip dari Mahfud M.D., Faiz menjelaskan efek pelaksanaan pilkada serentak akan berdampak terhadap banyaknya gugatan yang akan masuk ke Mahkamah Konstitusi.
“Perlu dipahami oleh rekan-rekan, pelanggaran yang menjadi kewenangan MK merupakan pelanggaran administratif, TSM yakni terstruktur, sistematis dan masif. Sedangkan pelanggaran yang sifatnya sporadis, bukan menjadi kewenangan MK. Karena pelanggaran tersebut dapat langsung dilaporkan ke Bareskrim,” terang Faiz. (Sri Pujianti/LA)