Sebanyak 70 mahasiswa Keguruan Universitas Mulawarman (Unmul) Samarinda berkunjung ke Mahkamah Konstitusi (MK), Rabu (19/4). Kedatangan rombongan tersebut untuk mempelajari seluk-beluk MK tersebut, diterima oleh Kepala Bidang Penelitian dan Pengkajian Perkara Fajar Laksono di Ruang Delegasi MK.
Pada awal diskusi, Fajar menjelaskan tentang kristalisasi kepentingan politik dalam pembentukan undang-undang. Hal ini menyebabkan potensi aturan yang dapat merugikan rakyat. Selain itu, UU yang ada dapat juga bertentangan dengan Konstitusi. Menurutnya, kondisi seperti itu kerap terjadi pada masa orde baru. Semisal ada UU yang bertentangan dengan Konstitusi, tidak dapat dikoreksi maupun dibatalkan. Kemudian barulah MK berdiri saat masuk era reformasi. “Disinilah terjadi perubahan fundamental dimana setiap warga negara dapat menguji konstitusionalitas suatu UU. Dengan kata lain, MK menjadi saluran bagi rakyat untuk melindungi hak konstitusinya,” jelasnya.
MK, lanjut Fajar, juga menjadi satu-satunya lembaga yang berhak menafsirkan undang-undang, untuk menentukan UU bertentangan dengan Konstitusi atau tidak. Dari sini, kata dia, putusan MK sifatnya final dan mengikat. “MK yang terdiri dari sembilan hakim memiliki kewenangan yang besar. Produk UU yang dibentuk 500-an anggota DPR dan presiden dapat dibatalkan jika bertentangan dengan Konstitusi,” tegasnya.
Fajar pun menjelaskan kewenangan dan kewajiban MK. Kewenangan utama MK adalah menguji undang-undang terhadap Undang-Undang Dasar 1945 (UUD 1945). Berikutnya, MK berwenang memutus sengketa antara lembaga negara yang kewenangannya diberikan oleh UUD 1945. Selain itu, MK berwenang memutus perselisihan hasil pemilu dan memutus pembubaran partai politik. Sedangkan, kewajiban MK adalah memutus pendapat DPR terkait dugaan presiden dan atau wakil presiden melanggar hukum maupun melakukan perbuatan tercela.
Untuk kewenangan pengujian UU, jelas Fajar, hal tersebut merupakan kewenangan utama dari seluruh MK yang ada di dunia termasuk Indonesia. Adapun kewenangan lain, sifatnya berbeda-beda dan tidak sama antara MK di satu negara dengan negara lainnya.
Selain sesi diskusi, peserta kunjungan juga menyempatkan diri mengunjung Pusat Konstitusi untuk menyaksikan diorama dan sejarah Konstitusi Indonesia sejak kemerdekaan hingga kini. (ARS/LA)