Tema penafsiran hukum menjadi perbincangan menarik saat 16 mahasiswa Sekolah Tinggi Hukum Jentera berkunjung ke Mahkamah Konstitusi (MK), Rabu (18/4). Kunjungan dalam rangka kuliah di luar kelas yang diselenggarakan kampus. Perwakilan STH Jentera Bivitri Susanti menjelaskan kunjungan ini merupakan kegiatan rutin yang diselenggarakan tiap tahun. Dalam kegiatan ini, mahasiswa melakukan pembelajaran langsung dengan para praktisi hukum. Tujuannya sebagai pelengkap dari pembelajaran dalam kelas.
Hakim Konstitusi I Dewa Gede Palguna yang hadir menyambut dan menjelaskan jika ada beragam model penafsiran hukum. Di negara yang menganut sistem civil law, karakteristik penafsiran hukum sifatnya straight to the point dan menekankan pada silogisme. “Penalaran cenderung bersifat ‘kering’ dan berpatokan pada aturan,” jelasnya.
Sementara, lanjut Palguna, di negara yang menganut sistem common law, penafsiran hukum lebih bersifat dinamis. Karena hakim biasanya berpatokan pada kasus serupa yang dulu sudah pernah diputus. Sebab dalam penafsirannya, ujar Palguna, hakim sangat memperhatikan nilai yang hidup di tengah masyarakat.
Palguna juga menerangkan tentang penafsiran konstitusi dengan aliran original intent, yakni hakim mencoba menggali maksud dan tujuan dari pembuat konstitusi. Lawan dari aliran ini, kata dia, adalah non original intent. “Keduanya sangat bertolak belakang,” jelasnya.
Aliran non original intent, ujar Palguna, saat menafsirkan konstitusi lebih progresif, yakni memperhatikan situasi dan kondisi kekinian. Artinya penafsirannya lebih dinamis sesuai perkembangan zaman. Penganut aliran ini, jelasnya, banyak mengkritik kelemahan dari penganut aliran original intent.
“Mereka menyatakan penafsiran original intent tidak tepat karena maksud dan tujuan pembentuk Konstitusi sarat dengan kepentingan politik. Sehingga hakim harus menafsirkan keluar dari batasan-batasan tersebut,” jelasnya. Penafsiran original intent, kata Palguna, juga tidak sesuai dengan konteks karena memakai parameter zaman dulu untuk zaman kini.
Palguna pun menyatakan publik tak perlu berpolemik terkait gaya penafsiran konstitusi. Sebab titik tekan utamanya bukan cara menafsirkannya, melainkan lebih kepada pembangunan argumentasi dari pertimbangan hukum. “Titik utamanya mesti dilihat dari alasan pertimbangan hukumnya sebelum menuju pada putusan,” jelasnya.
Di sisi lain, Palguna juga menyinggung tentang kondisi MK terkini. Dengan dinamika yang menimpa MK, dirinya menegaskan lembaganya tidak anti dengan kritik. Sebab kritik dapat digunakan lembaga untuk berproses menjadi lebih baik lagi di masa depan. Selain sesi diskusi, rombongan mahasiswa juga menyempatkan diri berkunjung ke Pusat Konstitusi (Puskon) MK. (ARS/LA)