Toyota Soluna Community (TSC) dan pemohon perseorangan memperbaiki permohonan uji materiil Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2009 tentang Lalu Lintas dan Angkutan Jalan (UU LLAJ). Sidang kedua perkara dengan Nomor 23/PUU-XVI/2018 digelar pada Rabu (11/4) di Ruang Sidang Pleno MK.
Pemohon menjelaskan beberapa perbaikan permohonan yang telah dilakukan Pemohon. Salah satunya mengganti Pemohon II yang semula Pemohon perseorangan bernama Reza Aditya berprofesi sebagai supir transportasi online menjadi Irvan yang berprofesi sebagai pengemudi ojek online. Pemohon mendalilkan telah memanfaatkan teknologi GPS melalui telepon pintar untuk menentukan titik pemesan pengguna jasa dan mengantarkan dirinya ke lokasi pengguna jasa tersebut. Namun dengan adanya pernyataan dari penegak hukum bahwa akan menilang atau membatasi pengemudi ojek dalam menggunakan sarana tersebut saat berkendara, berakibat pada terancam Pemohon melalui sanksi pidana sebagaimana pula diatur dalam ketentuan norma Pasal 283 UU LLAJ. Untuk itu, keberadaan ketentuan norma a quo terhadap frasa “menggunakan telepon” dapat saja ditafsirkan sekehendak penegak hukum. Sebab, hal ini dalam implimentasi suatu norma telah memunculkan ketidakpastian hukum.
“Oleh karena itu, penting bagi Mahkamah untuk menafsirkan terhadap frasa menggunakan telepon dalam ketentuan norma a quo dikecualikan untuk penggunaan sistem navigasi yang berbasis satelit yang terdapat dalam telepon pintar,” jelas Rahmat Cahyono selaku kuasa hukum di hadapan pimpinan sidang Wakil Ketua MK Aswanto.
Salah satu kuasa hukum Pemohon lainnya, Victor Santoso Tandiasa menjelaskan pada bagian Posita pihaknya mengganti batu uji norma a quo dari Pasal 28G menjadi Pasal 1 ayat (3) dan Pasal 28D ayat (1). Terdapat irisan yang sangat tipis, jelas Victor, terkait dengan penerapan norma sehingga pihaknya melihat adanya keraguan dalam implimentasi suatu undang-undang. “Berpedoman pada Putusan MK Nomor 005/PUU-III/2005 menyatakan “Adanya keragu-raguan dalam implimentasi suatu undang-undang akan memunculkan ketidakpastian hukum dalam praktik”, keadaan demikian dapat menimbulkan pelanggaran terhadap hak konstitusional,” urai Victor.
Sebelumnya, Pemohon merasa dirugikan hak konstitusionalnya dengan berlakunya Pasal 106 ayat (1) dan Pasal 283 UU LLAJ. Pasal 106 ayat (1) UU LLAJ yang berbunyi,”Yang dimaksud dengan penuh konsentrasi adalah setiap orang yang mengemudikan Kendaraan Bermotor dengan penuh perhatian dan tidak terganggu perhatiannya karena sakit, lelah, mengantuk, menggunakan telepon, atau menonton televisi atau video yang terpasang di kendaraan, atau meminum minuman yang mengandung alkohol atau obat-obatan sehingga mempengaruhi kemampuan dalam mengemudikan kendaraan.”
Sementara, Pasal 283 UU LLAJ yang berbunyi “Setiap orang yang mengemudikan kendaraan bermotor di jalan secaratidak wajar dan melakukan kegiatan lain atau dipengaruhi oleh suatu keadaan yang mengakibatkan gangguan konsentrasi dalam mengemudi di jalan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 106 ayat (1) dipidana dengan pidana kurungan paling lama 3 (tiga) bulan atau denda paling banyak Rp750.000,00 (tujuh ratus lima puluh ribu rupiah).”
Pemohon menilai ketentuan tersebut bertentangan secara bersyarat terhadap UUD 1945, terutama Pasal 1 ayat (3) dan Pasal 28D ayat (1). Pemohon beralasan bahwa frasa “menggunakan telepon“ pada Pasal 106 ayat (1) UU LLAJ tersebut, sebagai salah satu sebab terganggunya konsentrasi pengemudi kendaraan bermotor haruslah memiliki maksud yang jelas. Sehingga, tidak terjadi multitafsir dalam pemberlakuannya.
Pada akhir persidangan Aswanto mengesahkan alat bukti yang diserahkan para Pemohon. Kemudian akan dijadikan bahan laporan ke RPH. Untuk itu, para Pemohon diharapkan menunggu kabar dari Kepaniteraan MK atas kelanjutan agenda persidangan berikutnya. (Sri Pujianti/LA)