Mahkamah Konstitusi (MK) menggelar sidang Pengujian Undang-Undang Nomor 31 Tahun 2007 tentang pembentukan Kota Tual di Propinsi Maluku (UU Kota Tual) terhadap UUD 1945, Rabu (20/2), di ruang sidang Pleno Gedung MK. Sidang ini mengagendakan mendengar keterangan DPR, DPD, Pemerintah, Saksi dan Ahli, masing-masing dari Pemohon dan Pemerintah.
Perkara No. 31/PUU-V/2007 ini diajukan oleh tiga orang Pemohon Prinsipal yakni Abdul Hamid Rahayaan, Gasim Renuat, dan Abdul Gani Refra yang mengatasnamakan sebagai Persatuan Masyarakat Adat (Rat/Orangkay) Kei (Nuhu Evav). Melalui kuasa hukumnya, H. Supriyanto Refa, S.H., M.H., para Pemohon menganggap UU Kota Tual tersebut baik formil maupun materiilnya bertentangan dengan Pasal 18 Ayat (1), Pasal 18B Ayat (2), Pasal 20 Ayat (1) UUD 1945. Pemohon merasa dengan berlakunya UU Kota Tual tersebut juga telah merugikan hak konstitusional para Pemohon, karena undang-undang tersebut pembentukannya tidak memenuhi ketentuan Pasal 18 Ayat (1) UUD 1945 dan UU No. 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah (UU Pemda).
Pada awal persidangan, Tarmidzi, Staf Ahli Menteri Dalam Negeri yang hadir mewakili Pemerintah mengatakan, pada dasarnya di dalam penyusunan UU Kota Tual sudah sesuai dengan tahapan dan sesuai dengan prosedur serta perundang-undangan yang berlaku. Menurut Tarmidzi, proses pembentukan UU Kota Tual telah diawali dengan penyerapan aspirasi masyarakat. Ia juga menjamin dalam pembentukan UU Kota Tual ini, tidak terdapat unsur-unsur yang bersifat kolutif maupun koruptif. âHal ini dibuktikan dengan tidak adanya laporan-laporan dari masyarakat maupun pihak-pihak lain, dalam hal ini yang kita pandang formal adalah pihak berwajib(Kepolisian) dan Komisi Pemberantasan Korupsi,â katanya yakin.
Tarmidzi juga menambahkan, pembentukan Kota Tual tersebut justru dimaksudkan untuk meningkatkan pelayanan publik guna yang pada gilirannya akan dapat pula mewujudkan kesejahteraan masyarakat. Menurut Tarmidzi, Pembentukan Kota Tual tersebut juga akan dapat meningkatkan sarana politik di tingkat lokal. Ia juga menyanggah ketakutan Pemohon yang memiliki kekhawatiran akibat adanya pemekaran akan berdampak terhadap Hukum Adat yang berlaku. âSebaliknya, efektivitas dari misi pembangunan (Kota Tual) akan memperkuat visi-misi dari masyarakat hukum adat tersebut,â sanggahnya.
Senada dengan Tarmidzi, Kuasa Hukum DPR RI H. Fahruddin juga mengatakan bahwa pembentukan Kota Tual telah memenuhi persyaratan dan diproses sesuai dengan undang-undang yang berlaku. Menurutnya, UU No. 31 tahun 2007 tentang pembentukan Kota Tual secara prosedural sudah sesuai dengan prosedur yang berdasarkan dengan ketentuan hukum yang berlaku. Dalam pembentukannya, DPR telah menerima berbagai aspirasi, antara lain berasal dari komisi A DPRD Maluku, masyarakat Maluku Tenggara, Tokoh-Tokoh Masyarakat Maluku Tenggara, LSM Maluku Tenggara, Raja-Raja Kabupaten Maluku Tenggara, Aliansi-Partai-Partai politik Maluku tenggara dan Panitia Perjuangan Pembentukan Kota Tual. âSehingga dalam proses pembentukan UU Kota Tual sama sekali tidak ada yang melanggar UU yang berlaku, sebagaimana yang disampaikan oleh Pemohon,â ujar anggota Komisi II DPR RI ini.
Sementara Kafrawi Rahim, anggota Dewan Perwakilan Daerah asal Provinsi Maluku mengatakan, ketiga Pemohon yang mengajukan permohonan ini tidak memiliki hak dan atau kewenangan konstitusional sehingga para pemohon bukanlah pihak yang dirugikan dengan berlakunya UU No. 31 tahun 2007. âJadi mereka tidak memiliki legal standing,â katanya.
Pada persidangan tersebut juga didengarkan keterangan para saksi. Salah seorang saksi yang diajukan oleh DPRD Kabupaten Maluku Tenggaara, H. Moh. Taher yang merupakan Raja Adat Tual menyatakan mendukung adanya pemekaran Kota Tual. Ia beranggapan pemekaran tersebut akan berdampak positif bagi peningkatan kesejahteraan masyarakat. Ia juga menilai pemekaran Kota Tual bukan merupakan pemekaran adat istiadat, melainkan pemekaran daerah yang tetap menjunjung tinggi nilai-nilai adat yang berlaku.
Sedangkan M. Sayuti Rahawarin, ahli yang diajukan oleh DPRD Maluku Tenggara juga mempertanyakan legal standing Pemohon yang mengatasnamakan masyarakat hukum adat. Sayuti menilai Pemohon hanya merupakan masyarakat biasa, sehingga tidak memiliki hak ulayat untuk mempersoalkan pembentukan Kota Tual.
Sementara Nasir Leisubun, saksi Pemohon justru mengemukakan hal yang sebaliknya. Nasir yang juga seorang Kepala Desa sekaligus merangkap sebagai raja mengatakan, adanya UU Kota Tual telah menimbulkan dampak negatif terhadap masyarakat. Ia beralasan, pemekaran Kota Tual yang mengakibatkan terbagi dan terpecahnya wilayah Maluku Tenggara yang sebagian wilayahnya justru telah masuk ke dalam wilayah Maluku Utara telah mempengaruhi adat masyarakat setempat.
Pendapat tersebut didukung oleh Prof.Dr.Ronald Zelfianus Titahelu, S.H., M.S. Ahli yang diajukan Pemohon tersebut menjelaskan pembentukan Kota Tual ini akan membawa dampak terbaginya Kabupaten Maluku Tenggara menjadi dua bagian, yang berpotensi dapat membentuk masyarakat hukum adat tersendiri. Hal tersebut, menurutnya mengakibatkan induk dari daerah asli masyarakat hukum adat akan kehilangan masyarakat hukum adat karena pemekaran akan menyebabkan adanya perubahan batas-batas wilayah hukum adat.
Pada persidangan yang berlangsung hampir selama 7 jam ini, Ketua Majelis Hakim Konstitusi yang dipimpin langsung oleh Ketua MK Jimly Asshiddiqie mengharapkan agar masing-masing pihak baik dari Pemohon dan pemerintah dapat bersikap bijaksana menanggapi perkara ini. âApapun hasil keputusan perkara ini, ditolak ataupun diterima, dapat dijadikan sebagai bahan konstitusi untuk menyelesaikan masalah ini secara tepat (apabila ada pihak yang merasa tidak puas),â katanya sebelum menutup persidangan. (Andhini Sayu Fauzia)