Uji materiil Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2018 tentang MPR, DPR, DPRD, dan DPD (MD3) kembali berlanjut pada Selasa (17/4). Kali ini, agenda sidang perkara Nomor 26/PUU-XVI/2018 dan Nomor 28/PUU-XVI/2018 adalah mendengar perbaikan permohonan.
Kuasa hukum Pemohon Nomor 26/PUU-XVI/2018, Bernadus Barat Daya menjelaskan sudah menambahkan pasal AD/ART PMKRI. Selain itu, ia juga melampirkan tambahan bukti surat dari pengurus pusat PMKRI. Kemudian dirinya juga memasukkan akta notaris PMKRI. “Lalu di petitum, kami mengurangi banyak penjelasan-penjelasan sebab sudah kami padatkan semua,” ujarnya dalam sidang yang dipimpin oleh Hakim Konstitusi Saldi Isra.
Sementara kuasa hukum Pemohon Nomor 28/PUU-XVI/2018, Rinto Wardana sudah mempertegas alasan uji materi dan sistematika permohonan. Dirinya juga menyebut telah menambahkan alat bukti. Adapun untuk petitum, Rinto juga telah memperbaiki sesuai saran panel hakim dalam sidang sebelumnya.
Sebelum menutup sidang, Hakim Konstitusi Saldi Isra memberitahukan bahwa kedua perkara akan digabung dengan permohonan uji materiil UU MD3 lainnya. “Jadi, ini kita berpikir supaya bisa namanya lebih efisien, efektif, dan bisa lebih cepat juga kita selesaikan tujuh permohonan ini. Jadi, kita gabungkan semua,” jelasnya. Untuk sidang berikutnya, kata Saldi, akan diselenggarakan Kamis, 19 April 2018 pukul 11 siang.
Pemohon perkara ini diajukan Perhimpunan Mahasiswa Katolik Republik Indonesia (PMKRI) beserta perseorangan. Mereka mengajukan uji materiil Pasal 73 ayat (3), ayat (4) huruf a dan c, dan ayat (5), Pasal 122 huruf (k), Pasal 245 ayat (1). Sementara, Presidium Rakyat Menggugat menguji Pasal 73 ayat (3) dan ayat (4) huruf a dan c, Pasal 122 huruf k dan Pasal 245 ayat (1) UU MD3.
Pemohon mendalilkan pasal yang diujikan membatasi hak warga negara untuk mengajukan atau mengeluarkan pikiran, pendapat serta aspirasinya kepada lembaga legislatif (MPR, DPR, DPRD, DPD). Pemohon memandang kewenangan “panggilan paksa” dalam pasal-pasal tersebut bertentangan dengan asas-asas hukum yang berlaku sah di Indonesia dan bertentangan dengan KUHAP dan UU Otonomi Daerah.
Sementara itu, Presidium Rakyat Menggugat memandang UU MD3 akan mematikan kontrol warga negara pada kinerja legislatif. Di sisi lain, UU MD3 juga menimbulkan ketakutan karena seseorang yang menyampaikan pendapat dapat diperkarakan oleh anggota DPR. Untuk itulah, dalam petitumnya, Pemohon meminta agar pasal-pasal yang diajukan dibatalkan keberlakuannya dan dinyatakan bertentangan dengan UUD 1945. (ARS/LA)