Aturan konsesi pengelolaan jalan tol seperti yang tercantum dalam Pasal 50 ayat (6) Undang-Undang Nomor 38 Tahun 2004 (UU Jalan) dianggap bertentangan dengan UUD 1945. Hal ini dikemukakan Ahli Pemohon Nurwidiatmo dalam sidang lanjutan uji materiil UU Jalan yang digelar Mahkamah Konstitusi (MK) pada Kamis (12/4).
Akademisi Universitas Jayabaya tersebut menjelaskan Pasal 33 ayat (2) dan ayat (3) Undang-Undang Dasar Tahun 1945 menyatakan cabang-cabang produksi yang penting bagi negara dan terkait hajat hidup orang banyak dikuasai negara. Konsesi penggunaan jalan tol, lanjut Nurwidiatmo, sangat bertentangan dengan Konstitusi karena praktiknya pengusahaan jalan tol dikerjasamakan dengan pihak swasta murni. “Dengan demikian, titik beratnya pasti mencari keuntungan semata,” jelasnya dalam sidang yang dipimpin oleh Ketua MK Anwar Usman.
Menurut Nurwidiatmo, seharusnya pengusahaan jalan tol tetap dikerjakan sendiri oleh negara atau perusahaan badan usaha milik negara. Hal itu karena konsesi jalan tol merupakan kepentingan publik sehingga tidak boleh diprivatkan. Kemakmuran, ujar Nurwidiatmo, hanya akan menjadi angan-angan masyarakat jika penerapannya seperti sekarang ini. Ia juga menyarankan masa konsesi pengelolaan jalan tol ke swasta harus dibatasi dan diatur dalam UU terkait.
Ahli Pemohon lainnya, Efridani Lubis menyatakan pengaturan perjanjian pengusahaan jalan tol yang lebih berkeadilan, hendaknya menggabungkan antara kepentingan bisnis dan kepentingan publik. Ia menjelaskan seharusnya negara tetap berperan secara dominan untuk memastikan bahwa pembangunan dan pengelolaan jalan tol benar-benar berpihak pada masyarakat, bukan kepada pebisnis belaka.
Dalam permohonan Nomor 15/PUU-XVI/2018, Moh. Taufik Makarao dan Abdul Rahman Sabar selaku Pemohon mendalilkan hak konstitusionalnya terlanggar dengan berlakunya aturan terkait konsesi jalan tol yang tercantum dalam Pasal 50 ayat (6) UU Jalan. Pemohon menjelaskan konsesi, menurut Pasal 1 ayat (20) UU No. 30 Tahun 2014 tentang Administrasi Pemerintahan yang dipahami sebagai pemberian kuasa dari pemerintah kepada selain pemerintah untuk mengelola fasilitas umum. Pemohon menilai frasa “dalam jangka waktu tertentu” pada Pasal 50 ayat (6) UU Jalan ini tidak memiliki ketentuan waktu yang tepat dan jelas, sehingga mampu mengakibatkan kerugian bagi negara dan masyarakat.
Pemohon beranggapan bahwa penilaiannya terhadap pasal tersebut didukung Pasal 39 ayat (6) UU Administrasi Pemerintahan yang berbunyi “Izin, Dispensasi, atau Konsesi tidak boleh menyebabkan kerugian negara.” Oleh karena itu, Pemohon meminta MK menyatakan pasal tersebut bertentangan dengan Undang-Undang Dasar 1945 apabila frasa “dalam jangka waktu tertentu” tidak dimaknai “dalam jangka waktu paling lama 20 tahun” untuk memenuhi dana investasi dan keuntungan bagi pengusaha jalan tol. (ARS/LA)