Sidang uji materiil Undang – Undang Nomor 24 tahun 2000 tentang Perjanjian Internasional ditunda oleh Mahkamah Konstitusi (MK). Penundaan tersebut disebabkan Pemohon perkara Nomor 13/PUU-XVI/2018 terlambat memasukkan keterangan tertulis dari ahli.
Kuasa Hukum Pemohon Ibrahim Sumantri menyatakan memasukkan keterangan tertulis di luar tenggat waktu. Ia menyampaikan baru saja menyerahkan keterangan tertulis sebelum persidangan dimulai. Hal ini, lanjutnya, disebabkan hanya satu ahli saja yang dapat hadir dari rencana awal tiga ahli yang akan dihadirkan.
“Ya. Berarti terlambat. Sudah menjadi praktik yang memang harus dimasukkan dua hari sebelum hari sidang. Itu paling lambat, bukan dua hari sidang baru boleh dimasukkan. Oleh karena itu, keterangan ahlinya belum bisa didengar hari ini,” ujar Ketua MK Anwar Usman pada Senin (16/4). Anwar pun menunda sidang hingga 30 April 2018 pukul 11 siang.
Dalam permohonannya, Pemohon menilai Pasal 2, Pasal 9 ayat (2), Pasal 10, dan Pasal 11 ayat (1) UU Perjanjian Internasional merugikan hak konstitusionalnya yang dijamin oleh UUD 1945. Ketiga norma tersebut mengatur mengenai peran Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) dalam pembuatan dan pengesahan perjanjian Internasional. Pemohon menilai bahwa seluruh ketentuan tersebut bertentangan dengan UUD 1945 terutama Pasal 11 ayat (2) UUD 1945 yang menyatakan, “Presiden dalam membuat perjanjian internasional lainnya yang menimbulkan akibat yang luas dan mendasar bagi kehidupan rakyat yang terkait dengan beban keuangan negara, dan/atau mengharuskan perubahan atau pembentukan undang-undang harus dengan persetujuan Dewan Perwakilan Rakyat”.
Peran DPR untuk menyetujui sebuah perjanjian internasional dianggap tereduksi dengan berlakunya Pasal 2 UU Perjanjian Internasional. Hal tersebut karena pasal a quo telah mengganti frasa “dengan persetujuan DPR” dengan frasa “berkonsultasi dengan DPR dalam hal menyangkut kepentingan publik”. Lebih lanjut dalam permohonannya, Pemohon menyatakan bahwa persetujuan oleh DPR terhadap pembuatan perjanjian internasional menjadi sangat penting karena membuat perjanjian internasional berarti negara telah memberikan sebagian kedaulatannya. Apalagi terhadap perjanjian internasional yang memiliki akibat yang luas dan mendasar bagi kehidupan rakyat.
Oleh karena itu, Pemohon menilai persetujuan oleh DPR sebagai perwujudan kedaulatan rakyat menjadi sangat penting. Apalagi terkait dengan perjanjian internasional yang memiliki akibat yang luas dan mendasar bagi kehidupan rakyat. Kata “pengesahan” mereduksi kata “persetujuan” dengan DPR sehingga menempatkan DPR di bagian akhir penyusunan perjanjian Internasional dengan hanya berperan mengesahkan perjanjian internasional yang telah dibuat oleh Pemerintah Indonesia. Selain itu, Pemohon juga menilai Pasal 10 UU Perjanjian Internasional, telah memberikan pembatasan (limitasi) jenis perjanjian internasional yang harus disahkan melalui UU. Dengan demikian, untuk materi perjanjian internasional di luar ketentuan Pasal 10 UU a quo harus disahkan dengan ketentuan peraturan perundang-undangan di bawah undang-undang (keputusan presiden). Oliver melanjutkan, terkait Pasal 11 ayat (1) beserta penjelasan Pasal 11 ayat (1) UU Perjanjian Internasional merupakan suatu kesatuan yang tidak terpisahkan dari Pasal 10 UU a quo. Maka, pasal a quo juga dinilai bertentangan dengan Konstitusi. (ARS/LA)