Sidang perbaikan permohonan uji Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2018 tentang Majelis Permusyawaratan Rakyat, Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah, dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (UU MD3) digelar Mahkamah Konstitusi (MK) pada Rabu (11/4) siang.
Muhammad Hafidz, salah seorang Pemohon, menyampaikan sejumlah perbaikan, di antaranya perbaikan penyebutan identitas Pemohon I diganti dengan menyebutkan nama badan hukumnya. Kemudian, Pemohon juga mengganti kedudukan hukum menjadi badan hukum privat yang mendelegasikan direktur untuk bertindak atas nama perseroan di dalam maupun di luar pengadilan.
“Kami juga sudah tambahkan bukti P-5 berupa cuplikan laman buruhonline.com yang kontennya mengenai pemberitaan terhadap DPR,” tambah Hafidz kepada Majelis Hakim yang dipimpin oleh Hakim Konstitusi Saldi Isra.
Perbaikan selanjutnya, Hafidz menjelaskan adanya perlakuan yang berbeda dalam penegakan hukum antara Pemohon II sebagai rakyat dengan anggota DPR sebagai wakil rakyat. Pada alasan permohonan juga para Pemohon telah menghilangkan kutipan mekanisme pengundangan RUU yang tidak ditandatangani Presiden.
“Kemudian terhadap petitum, telah kami pisahkan rumusan petitum menjadi dua yaitu sepanjang mengenai frasa persetujuan tertulis dari Presiden dan frasa setelah mendapat pertimbangan dari Mahkamah Kehormatan Dewan dalam Pasal 245 ayat (1) di halaman 9,” urai Hafidz.
Permohonan ini teregistrasi dengan nomor perkara 25/PUU-XVI/2018 ini diajukan oleh Muhammad Hafidz (Pemohon I) dan Abda Khair Mufti (Pemohon II). Dalam persidangan, Abda Khair Mufti mengungkapkan rumusan dalam Pasal 122 huruf l Undang-Undang MD3 sepanjang frasa tindakan hukum telah berlebihan dan sesungguhnya tidak saja hanya bersifat penegasan serta memperlihatkan adanya standar ganda dari hak-hak setiap orang yang dapat dimintai pertanggungjawaban atas perbuatannya, termasuk Pemohon I sebagai penyelenggara usaha pers.
Dijelaskan Abda, MKD yang memiliki tugas untuk melakukan pencegahan, pengawasan, pemantapan, penyelidikan, hingga memutus perkara etik anggota DPR maupun sistem pendukung DPR. Oleh karena itu, lanjutnya, MKD merupakan salah satu alat kelengkapan DPR yang susunan ketua dan keanggotaannya berasal dari anggota DPR sehingga menjadi tidak etis, bahkan dapat menimbulkan conflict of interest apabila dibutuhkan pertimbangan MKD pada saat anggota DPR akan dilakukan pemanggilan dan permintaan keterangan atas dugaan terjadinya sebuah tindak pidana.
Selain itu, lanjut Abda, dengan mempertimbangkan Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 76/PUU-XII/2014 tanggal 20 September 2015, telah menyatakan frasa persetujuan tertulis dari Mahkamah Kehormatan Dewan dalam Pasal 245 ayat (1) Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2014 bertentangan dengan Undang-Undang Dasar Tahun 1945 dan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat sepanjang tidak dimaknai ‘persetujuan tertulis dari presiden.’ Dengan demikian, maka secara mutatis mutandis menjadi bahan pertimbangan hukum dalam permohonan a quo. (Nano Tresna Arfana/LA)