Sejumlah likuidator melakukan uji materiil pada Undang-Undang Nomor 40 Tahun 2007 tentang Perseroan Terbatas (UU PT), pada Selasa (10/4). Para Pemohon perkara Nomor 29/PUU-XVI/2018 tersebut, yakni M. Achsin (Pemohon I), Indra Nur Cahya (Pemohon II), Eddy Hary Susanto (Pemohon III), Anton Silalahi (Pemohon IV), Manonga Simbolon (Pemohon V), Toni Hendarto (Pemohon VI), Handoko Tomo (Pemohon VII).
Dalam permohonannya, Para Pemohon merasa dirugikan terhdap keberlakuan sepuluh pasal dalam UU PT. Pasal yang diujikan yakni Pasal 142 ayat (2) huruf a, ayat (3), Pasal 143 ayat (1), Pasal 145 ayat (2), Pasal 146 ayat (2), Pasal 147 ayat (1), ayat (2) huruf b, Pasal 148 ayat (2), Pasal 149 ayat (1), ayat (2), ayat (4), Pasal 150 ayat (1), ayat (4), Pasal 151 ayat (1), ayat (2), dan Pasal 152 ayat (1), ayat (3), ayat (7). Para Pemohon mempermasalahkan ketiadaan persyaratan jelas terkait profesi likuidator. Hal ini menyebabkan ketidakpastian hukum dan ancaman kriminalisasi terhadap profesi para Pemohon.
Kuasa Hukum Pemohon Reza Indrawan Samir menyebut batasan dan syarat yang jelas tentang likuidator sangat dibutuhkan para Pemohon. Karena itu, lanjut Reza, UU PT hanya menyebutkan peran, kewajiban, dan wewenang yang harus dikerjakan oleh seorang yang berprofesi sebagai likuidator tanpa menyebutkan makna dari likuidator dan syarat-syarat yang harus dipenuhi untuk menjadi seorang likuidator. “Tanpa persyaratan yang jelas menyebabkan siapa pun dapat mengklaim dirinya sebagai pihak yang berprofesi sebagai likuidator,” jelasnya dalam sidang yang dipimpin oleh Hakim Konstitusi Arief Hidayat tersebut.
Reza menyebut kerugian faktual yang dialami Pemohon adalah banyak likuidator yang bukan Warga Negara Indonesia (likuidator asing) atau lembaga likuidator asing melakukan praktik likuidasi terhadap perseroan-perseroan berbadan hukum Indonesia atau perseroan-perseroan asing yang ada di Indonesia. Di sisi lain, kerugian potensial yang dapat dialami para likuidator adalah tidak adanya perlindungan hukum akibat ketidakjelasan definisi likuidator. Hal ini dinilai menyebabkan profesi likuidator mudah dikriminalisasi.
Begitu juga, sambung Reza, terkait frasa “direksi bertindak sebagai likuidator” dalam Pasal 142 ayat (3). Frasa ini dinilai berpotensi menimbulkan konflik kepentingan (conflict of interest). Sebab ketika direksi bertindak selaku likuidator, maka dapat dipastikan apa yang dilakukan direksi adalah menyelamatkan harta kekayaan perseroan agar tidak merugi. “Sehingga dapat dikatakan bahwa tindakan Direksi tidak berlaku objektif dalam melakukan tugas/fungsi likuidator, yakni membagi harta kekayaan perseroan kepada kreditur,” jelasnya.
Reza menyebut profesi direktur di suatu PT (Perseroan) dan likuidator tidak dapat disamakan sebab masing-masing memiliki keahlian tersendiri. Sehingga satu sama lain seharusnya saling melengkapi dengan keahliannya masing-masing. Untuk itulah, para Pemohon meminta aga pasal-pasal a quo dinyatakan bertentangan dengan UUD 1945.
Nasihat Hakim
Menanggapi permohonan tersebut, Hakim Konstitusi Aswanto meminta agar bagian para Pemohon mengelaborasi pokok permohonan yang dinilainya belum menggambarkan kerugian konstitusional yang dialami Pemohon. “Ini agar Mahkamah bisa lebih yakin yang dialami Pemohon adalah persoalan konstitusional, bukan persoalan kasus konkret,” ujarnya dalam perkara Nomor 29/PUU-XVI/2018 tersebut.
Sementara Hakim Konstitusi Arief Hidayat meminta agar para Pemohon menambahkan referensi ilmiah terkait profesi likuidator terutama jika dibandingkan dengan profesi serupa di luar negeri. Pemohon, kata dia, sebenarnya telah membandingkan dengan profesi likuidator yang ada di Australia, namun para Pemohon juga harus memperhatikan karakteristik sistem hukum dengan yang berlaku di Indonesia. “Australia menerapkan common law, sedangkan kita lebih banyak dipengaruhi civil law,” jelasnya. (ARS/LA)