Pengurus Yayasan Badan Perguruan Sekolah Menengah Kristen Jawa Barat (Yayasan BPSMK-JB) mengajukan uji materiil Undang-Undang Nomor 86 Tahun 1958 tentang Nasionalisasi Perusahaan-Perusahaan Milik Belanda (UU Nasionalisasi), Senin (9/4). Permohonan yang teregistrasi Kepaniteraan MK dengan Nomor 27/PUU-XVI/2018 tersebut menguji Pasal 1 UU Nasionalisasi terkait nasionalisasi perusahan-perusahaan milik Belanda.
Menurut Pemohon yang diwakili Soekendra Mulyadi selaku Ketua dan Toto Lukito Sairoen selaku Sekretaris, Pasal 1 UU Nasionalisasi merugikan hak konstitusional Pemohon. Pasal 1 UU Nasionalisasi menyatakan, “Perusahaan-perusahaan milik Belanda yang berada di wilayah Republik Indonesia yang akan ditetapkan dengan Peraturan Pemerintah dikenakan nasionalisasi dan dinyatakan menjadi milik penuh dan bebas Negara Republik Indonesia.”
Pemohon merupakan pemilik sah lahan atau aset milik Het Cristhelijk Lyceum (HCL) yang terletak di Jalan Ir. H. Juanda No. 93, Bandung. Akan tetapi, sejak 1991 hingga 2018, Pemohon menghadapi gugatan hukum dari Perkumpulan Lyceum Kristen yang mengklaim sebagai pemilik aset HCL yang telah dinasionalisasi oleh pemerintah. Padahal Kementerian Keuangan telah melepaskan penguasaan negara atas aset milik asing tanah tersebut kepada Yayasan BPSMK-JB pada 19 Desember 2003.
Akan tetapi, keberadaan Pasal 1 UU Nasionalisasi menyebabkan yayasan Pemohon kerap mengalami gugatan hukum. Keberadaan Pasal 1 UU Nasionalisasi tidak memberikan kepastian hukum atas aset bekas HCL yang telah dinasionalisasi dan pengusaannya beralih dari negara kepada Pemohon.
“Kemudian aset ini beberapa kali digugat oleh pihak lain mulai dari gugatan perdata, pidananya, serta masalah tata usaha negara. Ini artinya tidak ada perlindungan hukum dan tidak ada kepastian hukum yang adil,” jelas Refly Harun selaku kuasa hukum Pemohon.
Refly merujuk pada Kasus Tembakau Bremen yang diputus pada 23 Februari 1959 yang dimenangkan oleh Indonesia. Ia merujuk pada putusan tersebut yang menegaskan bahwa nasionalisasi yang dilakukan negara untuk kepentingan publik adalah sah dan tidak seharusnya menjadi sengketa objek pengadilan. Selain itu, untuk memberikan kepastian hukum terhadap negara maupun pembeli aset nasionalisasi seperti Pemohon, keberadaan frasa “bebas” dalam Pasal 1 UU Nasionalisasi sepatutnya tidak hanya ditafsirkan (restriktif) “bebas” dalam konteks kepemilikan dan penguasaan negara, melainkan juga “bebas” dari segala tuntutan dan gugatan hukum.
Untuk itulah, dalam petitum permohonannya, Pemohon meminta agar Mahkamah menyatakan Frasa “Bebas” dalam ketentuan Pasal 1 UU Nasionalisasi tidak memiliki kekuatan hukum yang mengikat secara bersyarat (conditionally unconstitutional) bila tidak dimaknai; “Bebas dari segala tuntutan atau gugatan hukum”.
Elaborasi Kepastian Hukum
Menanggapi permohonan tersebut, panel hakim yang dipimpin oleh Hakim Konstitusi Arief Hidayat memberikan saran perbaikan. Hakim Konstitusi Aswanto meminta agar Pemohon mengelaborasi lebih lanjut terkait kerugian konstitusional yang dialaminya. Hal serupa juga disarankan untuk dalil Pemohon terkait frasa “bebas” yang dinilai tidak memiliki kepastian hukum. “Ketidakpastian hukum yang dimaksud bagaimana? Tentu kita berharap ketidakpastian hukum yang dimaksud Pemohon adalah yang berimplikasi pada kerugian hak konstitusional, bukan kerugian materiil,” sarannya.
Sementara Hakim Konstitusi Arief Hidayat meminta Pemohon memperkuat bagian posita, misalnya dengan memperkuat referensi tentang nasionalisasi. Ia menyebut Pemohon bisa mengangkat teori tentang nasionalisasi, dampaknya, serta apa saja yang bisa dinasionalisasi. Ia menyebut hal ini agar Majelis Hakim mendapat gambaran secara utuh mengenai permohonan yang ada. “Apakah bisa ada perbandingan di Indonesia yang dialami oleh perusahaan atau dialami oleh subjek hukum yang lain mengenai nasionalisasi? Itu supaya kita memperoleh gambaran yang lengkap dari Permohonan ini,” jelasnya. (ARS/LA)