Direktur PT Timsco Indonesia S. A. Habibie memperbaiki permohonan uji materi Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1986 tentang Peradilan Tata Usaha Negara sebagaimana yang telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 9 Tahun 2004 dan Undang-Undang Nomor 51 Tahun 2009 (UU PTUN). Sidang kedua yang dipimpin Hakim Konstitusi Manahan M.P. Sitompul tersebut digelar pada Senin (9/4) di Ruang Sidang Pleno MK.
Dalam perbaikan permohonannya, Pemohon yang diwakili Dahlan Pido, menjelaskan telah melakukan perbaikan permohonan terkait uji materiil frasa “90 hari” dalam Pasal 55 UU PTUN. Pasal 55 UU PTUN berbunyi,“Gugatan dapat diajukan hanya dalam tenggang waktu sembilan puluh hari terhitung sejak saat diterimanya atau diumumkannya Keputusan Badan atau Pejabat Tata Usaha Negara.”
Dahlan menyebut sebagai pihak ketiga, Pemohon dirugikan dengan keberadaan pasal a quo karena tidak secara langsung mendapatkan putusan PTUN. Berdasarkan Pasal 55 UU PTUN, tenggang waktu mengajukan gugatan bagi pihak yang berperkara selama 90 hari sejak saat keputusan TUN itu diumumkan. Sedangkan, bagi pihak ketiga yang tidak terkait secara langsung seperti Pemohon, maka tenggang waktu sejak 90 hari itu berpotensi merugikan pihak ketiga yang sesungguhnya punya kepentingan terhadap terbitnya keputusan TUN tersebut.
“Namun, pihak ketiga seperti Pemohon perkara a quo tidak mengetahui secara langsung kapan keputusan TUN itu diumumkan. Sesungguhnya proses gugatan adalah hak setiap orang untuk mengajukan gugatan, tetapi mengapa menjadi persoalan dalam peristiwa gugatan Pemohon a quo? Masa tenggang waktu membuat seperti yang diatur dalam Pasal 55 merupakan rentang waktu yang sangat singkat. Hal ini memicu ketidakpastian hukum dan mengganggu proses pencari keadilan seperti yang dialami Pemohon,” terangnya terkait permohonan Nomor 22/PUU-XVI/2018 tersebut.
Sebelumnya, dalam permohonannya, Pemohon menilai frasa “90 hari” dalam Pasal 55 UU PTUN merugikan hak konstitusional Pemohon. Frasa tersebut menyatakan secara konseptual, tenggang waktu 90 hari dalam hukum acara PTUN tersebut termasuk sangat singkat. Apalagi jika dibandingkan dengan ketentuan batas waktu menggugat dalam hukum acara perdata, khususnya ketentuan pasal 835, 1963, dan 1967 KUHPerdata yang tenggang waktunya 30 tahun.
Di samping jangka waktu yang pendek, norma a quo juga dinilai Pemohon, menimbulkan pengeluaran biaya yang banyak dalam mengajukan gugatan kepemilikan atas tanah. Sehingga batasan tenggang waktu gugatan di PTUN tersebut mutlak diperpanjang seperti yang diatur oleh Surat Edaran Mahkamah Agung (SEMA) Nomor 2/1991, yang mengatur perpanjangan masa tenggang waktu menggugat di PTUN.
Lebih lanjut, Pemohon menjelaskan bahwa pada kasus yang dialaminya terlihat aturan yang diberlakukan tidak jelas mengenai batas kedaluarsa gugatan, ada aturan yang menyatakan batas waktu 90 hari (berdasarkan Pasal 55 UU Nomor 5/1986), namun ada lebih dari 4 bulan (Pasal 3 ayat (3) UU Nomor 5/1986), bahkan ada aturan yang menyebutkan kapan saja bisa mengajukan gugatan selama ada kepentingannya dirugikan (SEMA Nomor 2/1991). Ketidaksinkronan antara peraturan perundang-undangan yang satu dengan lainnya menimbulkan ketidakpastian hukum. Untuk itu, Pemohon memohon kepada MK agar frasa “90 hari” dalam Pasal 55 UU Nomor 5/1986 bertentangan dengan UUD 1945 dan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat sehingga terjadi keharmonisan dan keselarasan norma tentang tenggang waktu seperti dalam SEMA Nomor 2/1991. (Sri Pujianti/LA)