Ketentuan yang diatur dalam Pasal 34 Ayat (2a) huruf b Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2007 tentang Perubahan Ketiga Atas Undang-Undang Nomor 6 Tahun 1983 tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan (UU KUP) tidak mengatur mengenai pembatasan wewenang Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) untuk melakukan audit terhadap penerimaan negara dari sektor pajak. Ketentuan tersebut merupakan pengaturan mengenai pengecualian terhadap larangan bagi pajabat dan tenaga ahli pajak untuk memberitahukan data dan informasi mengenai Wajib Pajak apabila data dan informasi tersebut ditujukan untuk kepentingan negara atau pengadilan. Dengan adanya ketentuan tersebut, para pejabat dan tenaga ahli pajak yang akan memberikan data dan informasi mengenai perpajakan kepada BPK untuk keperluan audit, tidak akan terkena ketentuan sanksi pidana.
Demikian antara lain rangkuman pernyataan yang disampaikan oleh Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati dan anggota Komisi III DPR RI Patrialis Akbar saat memberikan keterangan dalam sidang pengujian UU KUP di ruang sidang Mahkamah Konstitusi (MK), Jakarta, Selasa (19/2).
Namun demikian, Sri Mulyani menambahkan, ketentuan pada UU KUP tersebut mensyaratkan pejabat pajak dapat memberikan informasi mengenai Wajib Pajak setelah mendapatkan ijin berupa ketetapan dari menteri keuangan. Hal tersebut, menurut Sri Mulyani karena keterangan dari atau tentang Wajib Pajak adalah rahasia milik Wajib Pajak yang bersangkutan, yang baru diserahkan atau diberikan ke pihak lain hanya atas persetujuan pemiliknya, yaitu Wajib Pajak itu sendiri. âJadi, pada dasarnya, membuka rahasia Wajib Pajak adalah tindakan melanggar hukum, suatu kesalahan, dan undang-undang memberikan ancaman hukuman bagi yang melakukan,â jelas Sri Mulyani.
Melalui ijin yang diberikan menteri keuangan, lanjut Sri Mulyani, adalah agar pejabat dan tenaga ahli pajak dapat melakukan tindakan yang terlarang itu, tapi perbuatan itu dilepaskan atau dikecualikan dari ancaman hukumannya.
Lebih lanjut Sri Mulyani juga menjelaskan bahwa ketentuan tersebut juga sesuai dengan norma yang diatur sebagai Ketentuan Umum dalam hukum pidana, yakni Pasal 51 ayat (1) KUHP yang berbunyi âBarang siapa melakukan perbuatan untuk melaksanakan perintah jabatan yang diberikan oleh penguasa yang berwenang, tidak dipidanaâ. Atasan paling tinggi kewenangan dan tanggung jawabnya bagi pejabat pajak tersebut, atau dalam lingkungan organisasi pemerintahan tempat pejabat pajak tersebut bertugas, adalah Menteri Keuangan.
âItulah alasannya mengapa Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2007 melimpahkan tugas untuk menetapkan izin pengecualian itu pada Menteri Keuangan. Bukan pada Menteri Agama atau Menteri Sekretaris Negara misalnya, karena mereka bukan atasan tertinggi bagi pejabat pajak yang bersangkutan,â tegas Sri Mulyani.
Akan tetapi, menurut Sri Mulyani, BPK telah salah menginterpretasikan ketentuan yang diatur dalam UU KUP tersebut. Frasa âditetapkan menteri keuanganâ pada Pasal 34 Ayat (2a) huruf b UU KUP sebagai bentuk ijin yang diberikan menteri keuangan kepada pejabat dan tenaga ahli pajak untuk memberikan data dan informasi yang sebenarnya dilarang untuk diberikan kepada pihak selain instansi perpajakan, telah dimaknai sebagai bentuk pembatasan menteri keuangan bagi pelaksanaan wewenang BPK untuk memeriksa penerimaan pajak.
Dalam Pasal tersebut, lanjutnya, menteri keuangan tidak mengatur atau memberi izin pada lembaga negara, seperti BPK, melainkan mengatur dan memberi izin tertulis pada para pejabat atau petugas pajak, atau tenaga ahli yang ditunjuk Direktur Jenderal Pajak.
âDari segi ini saja sebenarnya Mahkamah Konstitusi bisa menolak atau tidak menerima untuk memeriksa perkara yang nyata-nyata, terang benderangâatau cetha wéla-wéla kata orang Jawaâdari motif dan sifat keluhannya bukanlah tergolong obyek sengketa masalah konstitusional, bukan merupakan subject matter of constitutionality,â urai Sri Mulyani yang seakan mempermasalahkan kedudukan hukum BPK sebagai Pemohon.
Memperkuat keterangan Pemerintah, DPR melalui kuasa hukumnya Patrialis Akbar juga menegaskan bahwa frasa âditetapkan oleh menteri keuanganâ yang terdapat dalam Pasal 34 Ayat (2a) huruf b pada prinsipnya tidak dimaksudkan untuk membatasi kewenangan konstitusional BPK dalam melakukan pemeriksaan, pengolahan dan tanggung jawab keuangan Negara. Menurut anggota Komisi III ini, frasa tersebut lebih mengandung pengertian bahwa hanya pejabat dan/atau hanya tenaga ahli tertentu saja yang ditetapkan untuk memberikan keterangan kepada lembaga negara atau instansi pemerintahan di dalam melakukan pemeriksaan, pengolahan dan tanggung jawab keuangan Negara.
Sementara Menteri Hukum dan HAM Andi Mattalatta berpendapat makna âbebas dan mandiriâ yang dimiliki oleh BPK bukan berarti boleh dilaksanakan tanpa memperhatikan ketentuan-ketentuan lain yang juga merupakan pelaksanaan UUD 1945, seperti halnya UU KUP yang juga memiliki landasan kuat dalam Pasal 23A UUD 1945.
âBadan Pemeriksa Keuangan bukanlah instansi yang berdiri sendiri dalam melaksanakan tugasnya, tetapi sebagai suatu subsistem dalam sistem penyelenggaraan negara secara keseluruhan. Mandiri bukanlah berarti menyendiri,â kata Andi.
Langgar Hak Wajib Pajak
Dalam persidangan yang berlangsung hampir satu hari penuh tersebut, turut hadir pula para pengurus Kamar Dagang dan Industri (KADIN) Indonesia yang meminta MK menjadikan KADIN sebagai pihak terkait. Saat diberikan kesempatan menyampaikan pendapat, Wakil Ketua Umum KADIN Bidang Kebijakan Publik Perpajakan Sistem Moneter dan Fiskal Hariyadi Sukamdani mengemukakan bahwa bila BPK memiliki akses terhadap data dan informasi Wajib Pajak maka jaminan dan perlindungan terhadap kerahasiaan data dan informasi yang bersifat pribadi tersebut akan hilang.
âApabila BPK memiliki akses untuk memeriksa data kemudian menemukan adanya perbedaan perhitungan dengan Dirjen Pajak, BPK bisa saja merekomendasikan perhitungan kembali. Hal ini akan merusak tatanan perpajakan dan menimbulkan ketidakpastian hukum dan menimbulkan kerugian bagi Wajib Pajak,â kata Hariyadi.
Hariyadi juga menambahkan, dengan kewenangan yang dimilikinya BPK dapat mempublikasikan data dan informasi Wajib Pajak yang kerahasiaannya dijamin oleh undang-undang. Hal tersebut menurut Hariyadi berarti telah melanggar hak konstitusional Wajib Pajak yang telah dilindungi oleh Pasal 28G Ayat (1), Pasal 28H Ayat (4), dan Pasal 28I Ayat (4) UUD 1945.
Dalam sidang tersebut sedianya juga akan didengarkan pendapat para ahli yang diajukan oleh Pemohon, yakni Faisal Basri, S.E. dan Dr. Iman Sugema. Namun karena panjangnya persidangan serta niat Pemerintah yang juga akan mengajukan ahli, maka agenda tersebut ditunda pada sidang berikutnya. Sidang sempat diskorsing atas permintaan Pemohon yang harus berdiskusi dengan para ahli tersebut untuk menentukan jadwal sidang berikutnya.
âSelama lima tahun, baru kali ini sidang MK ada skorsing untuk lobby. Ini berarti perkara yang disidangkan memang sangat penting,â kata Ketua Majelis Hakim Konstitusi Jimly Asshiddiqie./[ardli]