Privatisasi Badan Usaha Milik Negara (BUMN) justru akan meningkatkan nilai BUMN tersebut sesuai dengan tujuan yang dipersyarakatkan oleh undang-undang sehingga privatisasi tidak akan menimbulkan kerugian bagi Pemerintah dan masyarakat. Demikian ditegaskan pakar hukum ekonomi Nindyo Pramono dalam sidang lanjutan uji materiil Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2003 tentang Badan Usaha Milik Negara (UU BUMN) yang digelar Mahkamah Konstitusi pada Senin (9/4) siang.
Dalam keterangannya sebagai ahli Pemerintah, Guru Besar Fakultas Hukum UGM tersebut menegaskan dengan privatisasi nilai investasi Pemerintah di BUMN justru bertambah seiring dengan kemajuan BUMN setelah diberikan dana dan bantuan dari investor strategis tersebut. “Seperti inilah kita seharusnya memahami apa yang dimaksudkan dengan privatisasi dan apa manfaatnya bagi negara dan masyarakat,” jelasnya di hadapan sidang yang dipimpin oleh Wakil Ketua MK Aswanto tersebut.
Tidak Boleh Semena-mena
Nindyo pun menekankan Pemerintah harus melalui beberapa pertimbangan untuk melakukan privatisasi dan hal tersebut bukanlah hal yang mudah. Beberapa pertimbangan yang harus ditilik, di antaranya pertimbangan kebutuhan dana yang besar untuk pengembangan usaha, tetapi terhalang keterbatasan dana Pemerintah dan untuk mendorong kelanjutan pengembangan aset korporasi melalui kerja sama dengan mitra strategis.
“Pemerintah tidak bisa semena-mena melakukan privatisasi. Bahkan saya katakan tidak mungkin semena-mena melakukan privatisasi sebelum diputuskan adanya kebijakan privatisasi, Pemerintah wajib melakukan analisa menyeluruh terkait dengan rencana privatisasi tersebut. Pemerintah tidak akan mungkin memutuskan melakukan kebijakan privatisasi jika dari hasil analisa menyeluruh atas rencana privatisasi tidak akan diperoleh nilai tambah bagi negara dan masyarakat,” tegas Nindyo menanggapi permohonan Nomor 12/PUU-XVI/2018 tersebut.
Pada kesempatan itu pula, Nindyo mengemukakan pula tentang hakikat privatisasi. “Menurut Pasal 1 angka 12 Undang-Undang BUMN, privatisasi adalah penjualan saham persero, baik sebagian maupun seluruhnya kepada pihak lain dalam rangka meningkatkan kinerja dan nilai perusahaan, memperbesar manfaat bagi negara dan masyarakat serta memperluas kepemilikan saham oleh masyarakat,” urai Nindyo.
Pegawai BUMN PT. PLN (Persero) menguji Pasal 14 ayat (3) huruf (a), (b), (d), (g), dan (h) UU BUMN yang menyebutkan, “Pihak yang menerima kuasa sebagaimana dimaksud dalam ayat (2) wajib terlebih dahulu mendapat persetujuan Menteri untuk mengambil keputusan dalam RUPS mengenai : a. perubahan jumlah modal; b. perubahan anggaran dasar; d. penggabungan, peleburan, pengambilalihan, pemisahan, serta pembubaran Persero; g. pembentukan anak perusahaan atau penyertaan; h. pengalihan aktiva.”
Pemohon perkara Nomor 12/PUU-XVI/2018 mendalilkan bila PP Nomor 72 Tahun 2016 tentang Perubahan Atas Peraturan Pemerintah Nomor 44 Tahun 2006 tentang Tata Cara Penyertaan dan Penatausahaan Negara pada Badan Usaha Milik Negara dan Perseroan Terbatas adalah salah satu perangkat untuk memprivatisasi BUMN tanpa terkecuali. Menurut Pemohon, BUMN yang produksinya menyangkut orang banyak akan diprivatisasi seperti yang tertuang dalam PP Nomor 39 Tahun 2014 tentang “daftar bidang usaha yang tertutup dan bidang usaha yang terbuka dengan persyaratan dibidang penanaman modal”. Pembangkit listrik, transmisi tenaga listrik dan distribusi tenaga listrik swasta dapat memiliki saham hingga 95-100%, yang akan menghilangkan fungsi negara untuk menguasai cabang produksi yang penting bagi Negara yang menyangkut hidup orang banyak.
Pemohon beranggapan, adanya Pasal 14 ayat (3) huruf (a), (b), (d), (g), dan (h) UU BUMN, pemerintah yang diwakili menteri bertindak selaku pemegang saham dapat mengubah Anggaran Dasar (AD) perseroan, meliputi unsur penggabungan, peleburan dan pengalihan aktiva, perubahan jumlah modal, perubahan anggaran dasar, pengambilalihan dan pemisahan tanpa pengawasan dari DPR. (Nano Tresna Arfana/LA)