Isu kode etik hakim menjadi bahasan menarik dalam kunjungan Sekolah Tinggi Hukum (STH) Sukabumi ke Mahkamah Konstitusi (MK), Senin (9/4). Peneliti MK Alia Arumdani Wijaya menegaskan kode etik berkaitan dengan kenegarawanan seorang hakim konstitusi.
“Batas dan aturan terkait kode etik hakim konstitusi sangat banyak sekali. Namun, intinya kode etik berkaitan dengan sikap kenegarawanan seorang hakim,” ujarnya dalam diskusi bersama 57 mahasiswa.
Alia menegaskan jika sikap kenegarawanan berkaitan dengan sikap yang mengutamakan kepentingan umum dibanding kepentingan pribadi. Ia juga menjelaskan aturan terkait kode etik dipegang oleh Dewan Etik MK. Merekalah yang berhak menafsirkan serta memutuskan apabila seorang hakim melanggar kode etik. Jika ada laporan terkait kode etik, barulah dewan etik memutuskannya. Misal terdapat laporan pelanggaran etik, kata Alia, implementasi penafsiran bisa berbeda.
Selain isu kode etik, dalam diskusi juga membicarakan isu putusan MK yang tidak dilaksanakan di masyarakat. Alia menyatakan hal tersebut berkaitan dengan budaya hukum di Indonesia yang belum baik. Di luar negeri, lanjutnya, publik sangat patuh dengan hukum. Hal ini menyebabkan putusan MK dijalankan oleh seluruh lapisan masyarakat.
Di sisi lain, Alia menjelaskan jika MK Indonesia tidak memiliki juru sita. Hal tersebut menyebabkan MK tidak bisa melakukan eksekusi jika dibandingkan dengan pengadilan umum. “Di luar negeri, MK di sana juga tidak memiliki eksekutor, namun lagi-lagi karena budaya hukumnya baik, maka hal tersebut tak menjadi masalah,” ujarnya.
Alia pun memberitahukan bahwa MK siap bekerja sama dengan seluruh stakeholder Pilkada semisal Bawaslu serta KPU. Ini menjawab pertanyaan mahasiswi bernama Salsabila yang menanyakan kesiapan MK menyambut Pilkada Serentak. “Tidak mungkin MK tidak bekerja sama dengan lembaga-lembaga tersebut. Mereka semua adalah pihak yang ikut berperkara jika ada sengketa pilkada,” jelasnya.
Kewenangan MK
Selain berdiskusi terkait isu-isu kekinian, Alia juga menjelaskan materi singkat tentang MK. Ia memaparkan empat kewenangan MK dan satu kewajiban MK. Kewenangan utama MK adalah menguji Undang-Undang terhadap Undang-Undang Dasar. Kewenangan MK berikutnya, memutus sengketa kewenangan antara lembaga negara yang kewenangannya diatur oleh UUD 1945.
MK juga berwenang memutus pembubaran parpol dan sengketa perkara pemilihan umum. Sedangkan kewajiban MK adalah memutus pendapat DPR apabila Presiden dan/atau Wakil Presiden diduga melakukan pelanggaran hukum maupun perbuatan tercela.
Dalam beracara di MK, lanjut Alia, ada empat tahapan persidangan. Pertama adalah pemeriksaan pendahuluan, kedua adalah pemeriksaan persidangan, selanjutnya Rapat Permusyawaratan Hakim (RPH), terakhir adalah putusan. Agar sukses beracara di MK, kata Alia, Pemohon harus memperhatikan legal standing serta muatan permohonan. (ARS/LA)