Penentuan batas waktu pengusahaan (konsesi) jalan tol yang diberikan oleh pemerintah kepada badan usaha sebagaimana ditentukan dalam ketentuan Pasal 51 ayat (1) Undang-Undang Nomor 38 Tahun 2004 tentang Jalan (UU Jalan), dilakukan melalui pelelangan secara transparan dan terbuka. Hal ini ditegaskan Sekretaris Jenderal Kementerian Perumahan Umum dan Pekerjaan Rakyat (PUPR) Anita Firmanti Eko Susetyowati dalam sidang lanjutan uji materiil UU Jalan yang digelar Mahkamah Konstitusi (MK), pada Kamis (5/4).
Dalam keterangannya mewakili Pemerintah, Anita menyebut dalil Pemohon yang menyatakan pasal 50 ayat (6) UU Jalan terkait batas waktu konsesi jalan tol tidak memiliki ketentuan waktu yang tepat dan jelas adalah tidak benar dan tidak berdasar. Hal tersebut karena mengenai pembatasan waktu pengusahaan jalan tol telah jelas diatur dalam UU Jalan dan PP Jalan Tol Nomor 30 Tahun 2017 tentang Jalan Tol yang mengamanatkan bahwa ketentuan tersebut dimuat dalam PPJT. Anita juga membantah dalil Pemohon terkait pembebanan biaya pemakaian jalan tol tanpa ada kejelasan batas waktu tersebut berakibat pada ketidakpastian beban biaya.
“Dalil Pemohon jelas tidak benar dan tidak berdasar. Karena penentuan batas waktu pengusahaan jalan tol yang diberikan oleh pemerintah kepada badan usaha sebagaimana ditentukan dalam ketentuan Pasal 51 ayat (1) Undang-Undang Jalan dilakukan melalui pelelangan secara transparan dan terbuka. Oleh karena itu, pasal a quo telah mengandung nilai-nilai kepastian hukum yang berkeadilan dan tidak bertentangan dengan Pasal 28D ayat (1) Undang-Undang Dasar 1945,” tegasnya dalam sidang yang dipimpin oleh Ketua MK Anwar Usman tersebut.
Terkait dalil Pemohon yang menyebut Pasal 50 ayat (6) UU Jalan berpotensi timbulnya penyalahgunaandan penggelapan kekayaan negara, Anita menyebut dalil tersebut tidak berdasar. Ia menjelaskan negara tidak mengalami kerugian karena dalam pengusahaan jalan tol, kepemilikan aset jalan tol tidak diserahkan kepada Badan Usaha Jalan Tol (BUJT). Negara, sambungnya, hanya menyerahkan hak pengusahaannya yang berupa masa konsesi.
“Dengan demikian, jelas bahwa dalam pengusahaan jalan tol, kepemilikan aset berupa jalan tol sepenuhnya tetap pada negara. Adapun setelah masa konsesi jalan tol selesai, hak pengusahaan jalan tol dikembalikan kepada negara,” tegas Anita menanggapi permohonan Nomor 15/PUU-XVI/2018 tersebut.
Dalam permohonannya, Moh. Taufik Makarao dan Abdul Rahman Sabar selaku Pemohon mendalilkan hak konstitusionalnya terlanggar dengan berlakunya aturan terkait konsesi jalan tol yang tercantum dalam Pasal 50 ayat (6) UU Jalan. Pemohon menjelaskan konsesi, menurut Pasal 1 ayat (20) UU No. 30 Tahun 2014 tentang Administrasi Pemerintahan yang dipahami sebagai pemberian kuasa dari pemerintah kepada selain pemerintah untuk mengelola fasilitas umum. Pemohon menilai frasa “dalam jangka waktu tertentu” pada Pasal 50 ayat (6) UU Jalan ini tidak memiliki ketentuan waktu yang tepat dan jelas, sehingga mampu mengakibatkan kerugian bagi negara dan masyarakat.
Pemohon beranggapan bahwa penilaiannya terhadap pasal tersebut didukung Pasal 39 ayat (6) UU Administrasi Pemerintahan yang berbunyi “Izin, Dispensasi, atau Konsesi tidak boleh menyebabkan kerugian negara.” Oleh karena itu, Pemohon meminta MK menyatakan pasal tersebut bertentangan dengan Undang-Undang Dasar 1945 apabila frasa “dalam jangka waktu tertentu” tidak dimaknai “dalam jangka waktu paling lama 20 tahun” untuk memenuhi dana investasi dan keuntungan bagi pengusaha jalan tol. (ARS/LA)