Mahasiswa Program Studi PPKn Universitas Suryakancana (Unsur), Cianjur, berkunjung ke Mahkamah Konstitusi pada Kamis (5/4). Para mahasiswa yang didampingi beberapa dosen serta Dekan Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan Universitas Suryakancana Munawar Rois disambut hangat oleh Peneliti Muda MK Irfan Nur Rachman di Aula Gedung MK.
Dalam sambutannya, Munawar menyampaikan kunjungan dilakukan terkait dengan beberapa mata kuliah, seperti ilmu hukum dan ketatanegaraan yang didapatkan para mahasiswa dalam perkuliahan. Untuk itu, pihaknya mengunjungi MK guna mendapatkan penjelasan langsung dari narasumber yang ada di MK perihal tupoksi MK. “Selama ini kami hanya membaca dan menonton di televisi, hari ini kami hadir bersama para calon pendidik, yang selama 4 tahun menempuh pendidikan, kemudian akan terjun ke ranah pendidikan mengajarkan dan membagi ilmunya ke masyarakat,” jelas Munawar.
Menanggapi hal tersebut, Irfan mengawali pemaparannya dengan mengenalkan posisinya selaku peneliti di MK. Lebih lanjut Irfan menjelaskan bahwa posisi peneliti di lingkungan MK terbagi atas dua, yakni peneliti yang melekat pada hakim konstitusi dan ada pula peneliti yang berada pada pusat penelitian MK. Terhadap adanya pembeda pada peneliti ini, Irfan menceritakan bahwa hal tersebut disadur MKRI dari MK Korea Selatan. Hal ini dilakukan mengingat MK adalah peradilan norma sehingga sangat kental dengan nuansa akademisi.
Selanjutnya, Irfan menjelaskan mengenai kewenangan dan kewajiban MK. Secara normatif, MK memiliki kewenangan untuk melakukan pengujian undang-undang terhadap UUD NRI Tahun 1945. Pada masa Orde Baru, jika ada UU yang merugikan warga negara, maka belum ada saluran hukum untuk menggugat UU tersebut karena pada masa itu Indonesia masih menganut supremasi parlemen. Namun sekarang, Indonesia telah melakukan pemisahan kekuasaan secara tegas sehingga terdapat kedudukan lembaga peradilan yang berfungsi sebagai penyeimbang pembentuk undang-undang.
Irfan menjelaskan hingga 2017, MKRI telah menangani 2.281 perkara. Artinya, masyarakat sudah menyadari apabila ada UU yang salah atau merugikan hak konstitusionalnya, maka tempat pengujiannya adalah MK. Sebagai contoh, Irfan menceritakan seorang guru yang secara perseorangan tanpa didampingi pengacara hadir ke MK untuk menggugat UU APBN terkait anggaran pendidikan yang hanya menganggarkan 4%, sedangkan amanat UUD 1945 adalah 20%.
“Akhirnya UU tersebut dibatalkan. Bahkan MK memutus agar pemerintah tidak hanya menganggarkan untuk alokasi pendidikan, tetapi juga untuk kesejahteraan para guru. Jadi, kewenangan MK itu bukan main-main karena meskipun perseorangan yang mengajukan pengujian undang-undang, tapi dampaknya luas sekali,” tegas Irfan.
Selanjutnya Irfan membahas kewenangan MK dalam hal membubarkan partai politik. Diakui oleh Irfan, kendati kewenangan ini belum pernah dilakukan MK sejak keberadaannya pada 2003, tetapi kita dapat melihat kewenangan ini dijalankan oleh negara lain. Terkait hal ini, Irfan membagikan pengalamannya saat berkunjung ke Turki dan Korea Selatan bahwa MK pada dua negara tersebut pernah melakukan kewenangan ini. Bahkan MK Korea Selatan pernah membubarkan partai politik yang dinilai berafiliasi dengan Korea Utara pada 2014.
“MK Korea Selatan berdirisejak 1980-an. Dan baru ada pembubaran partai politik pada 2014. Hal yang perlu dicermati adalah pembubaranparpolini tidak bisadigunakan sembarangpenggugat, hanya pemerintahlah yang menjadi subjek hukum yang tentunya melalui MK. Jadi, di Indonesia hal ini masiih dalam kajian akademis,” terang Irfan. (Sri Pujianti/LA)