Dewan Pimpinan Pusat Perhimpunan Mahasiswa Hukum Indonesia mengunjungi Mahkamah Konstitusi. Kunjungan tersebut diterima oleh Kepala Bidang Penelitian dan Pengkajian Perkara Fajar Laksono pada Rabu (4/4) di Aula Gedung MK.
Mengawali paparannya, Fajar mengutip ungkapan Ketua MK Periode 2015 – 2018 Arief Hidayat bahwa “MK dari hari ke hari makin seksi karena perjalanan hukum berawal dari MK”. Bagi Fajar, anggapan tersebut benar adanya mengingat eksistensi MK pada beberapa waktu belakangan ini yang menjadi pusat perhatian atas putusan-putusannya yang menjadi perdebatan publik. Ditambah pula, Tahun 2018 menjadi Tahun Politik, karena MK akan disibukkan dengan perkara Pilkada Serentak Tahap Ketiga. Pada 2018 ini, para kontestan pilkada akan berjuang dan dalam banyak analisis hal ini dapat dijadikan acuan dalam melihat peta politik Pemilu 2019 nantinya. Jadi, Tahun Politik ini menjadi tantangan tersendiri bagi MK karena berperan menjaga nilai-nilai dari jalannya demokrasi pada pesta demokrasi daerah tersebut.
“Silakan bertarung, tetapi rambu-rambu konstitusi harus tetap dijaga. Jika keluar dari itu, maka MK berperan sebagai penjaganya. Hukum tetap harus jadi panglima,” jelas Fajar di hadapan sekitar 25 mahasiswa DPP Permahi dari Medan, Pekan Baru, Palembang, Semarang, dan Jakarta tersebut.
Sebagai contoh eksistensi MK, Fajar menceritakan proses UU MD3 diajukan oleh banyak Pemohon, sedangkan pokok perkara yang diujikan sama. Menurut Fajar, hal ini menjadi bukti bahwa MK mempunyai peran, apalagi secara substansi dengan putusannya yang dapat mengubah sistem hukum.
Contoh lainnya, Fajar memaparkan mengenai adanya Putusan MK terkait LGBT yang dinilai menjadi perdebatan publik. Melalui kejadian ini, Fajar melihat ada hal yang sejatinya belum dipahami secara utuh oleh publik bahwa putusan MK itu sudah milik publik dan dipersilakan untuk diperdebatkan dan dikritik, namun ada tempatnya karena putusan tersebut adalah sebagai hukum sehingga berlaku mengikat.
“Silakan dipilah, putusan pengadilan adalah hukum dan berlaku mengikat. Dalam konteks ilmu hukum, diperbolehkan dikaji meski hal tersebut tidak mempengaruhi keberlakuannya,” jelas Fajar yang didampingi Daniel Hari Pasaribu selaku moderator yang merupakan perwakilan DPP Permahi.
Kultur Hukum
Mendapati hal ini, Fajar masih melihat adanya kecenderungan masyarakat Indonesia terutama yang paham hukum membuat masyarakat umum kebingungan. Hal ini kemudian berakibat pada masih banyaknya putusan MK yang tidak dipahami esensinya. Untuk itu, Fajar mengajak rekan-rekan dari DPP Permahi untuk membenahi kultur hukum yang masih luput dari perhatian. Mengingat hal ini penting bagi perkembangan dunia hukum.
Sebagai contoh betapa kultur hukum itu penting, Fajar menyampaikan ketika dirinya berkunjung ke Seoul, Korea Selatan, ia mendapati marka jalan yang hanya berupa garis putus-putus sebagai penanda kendaraan boleh memutar arah. Hal ini, menurut Fajar, berbeda halnya dengan yang ada di Indonesia, yang marka jalannya dibuat tinggi agar tidak ada yang menerobos.
“Nah ini kultur. Ini penting sebagai pembelajaran. Kapan kita akan punya kultur seperti negara-negara yang sudah sangat baik kultur hukumnya? Ya, saya optimis 10 – 30 tahun lagi bisa saja Indonesia punya kultur hukum seperti itu, tapi negara-negara itu akan jauh melesat makin baik kultur hukumnya dari kita. Untuk itu, tugas kampus-kampus hukumlah untuk mewujudkan kultur hukum yang baik itu,” harap Fajar.
Berkaitan dengan putusan-putusan Mahkamah Konstitusi, Fajar menekankan bahwa putusan pengadiilan konstitusi itu rentan terhadap resistensi, seperti halnya di Taiwan, Rusia, dan beberapa negara yang memiliki MK. Riset menemukan bahwa ada tiga kemungkinan yang dilakukan terhadap putusan MK, yaitu dilaksanakan, diabaikan, atau bahkan dilawan.
Disadari oleh Fajar, kultur hukum di Indonesia tampak mulai membaik karena sudah munculnya kesadaran akan pemahaman hak konstitusi warga negara, baik secara perseorangan maupun kelompok. Hal ini terlihat dengan banyaknya perkara yang diajukan ke MK. Hal ini bukan berarti produk undang-undang yang buruk, tetapi adanya pemahaman warga terhadap kesadaran berkonstitusi. Akan tetapi, masih didapati adanya Pemohon yang ketika perkaranya dinyatakan ditolak karena dinilai tidak sesuai dengan harapan, maka akan dijadikan perdebatan. Padahal, pada saat mengajukan perkara, pada Petitum telah jelas dicantumkan pada salah satu bunyinya yang menyatakan “Apabila Mahkamah berpendapat lain, mohon pendapat seadil-adilnya.”
“Dari hal ini sudah jelaskan, adanya permintaan demikian dari setiap perkara dan itu sesuai dengan aturan beracara di MK. Namun, kemudian Pemohon menyalahkan MK lagi. Oleh karena itu, mari teman-teman DPP Permahi kita mapankan kultur hukum kita,” ajak Fajar. (Sri Pujianti/LA)