Mahkamah Konstitusi (MK) mengadakan sidang uji Undang-Undang No. 51 Tahun 1999 tentang Pembentukan Kabupaten Buol, Kabupaten Morowali dan Kabupaten Banggai Kepulauan di Ruang Sidang Panel MK, Rabu (18/2), dengan agenda Pemeriksaan Pendahuluan.
Permohonan ini diajukan oleh 12 Pemohon dengan latar belakang yang berbeda-beda. Satu orang pemohon mengatasnamakan Lembaga Musyawarah Adat Banggai, tiga orang Pemohon lain adalah anggota DPRD, empat orang terpidana terkait masalah kekerasan berdarah di Kabupaten Banggai sementara empat orang lain mewakili korban dari kekerasan tersebut.
Dalam Permohonan yang dibacakan Kuasa Hukum Pemohon, Arifin Musa SH., pada intinya para pemohon menolak perpindahan Ibukota Kabupaten Banggai Kepulauan dari Kota Banggai ke Kota Salakan. Pemohon mendalilkan Pasal 11 UU No. 51 Tahun 1999 yang memuat ketentuan bahwa Ibukota Kabupaten Banggai adalah Salakan bertentangan dengan pasal 10 ayat (3) dari UU a quo yang menyatakan Ibukota Kabupaten Banggai Kepulauan adalah Banggai.
Perpindahan ini menurut Pemohon selain bukan atas usul DPRD yang berarti melanggar asas legalitas, tetapi juga telah mengakibatkan gejolak sosial yang berujung pada kekerasan berdarah sehingga sebagian Pemohon kehilangan hak untuk berkumpul dan mengeluarkan pendapat serta kehilangan hak hidup anggota keluarganya. Selain itu Pemohon mendalilkan bahwa perpindahan itu menggangu keberadaan adat Banggai.
Dalam saran yang diberikan Majelis Panel Hakim Konstitusi berkaitan dengan Permohonan tersebut, antara lain meminta Pemohon untuk mengubah pernyataan yang berkaitan dengan kuasa hukum karena satu orang kuasa hukum bukan pengacara. Selain itu menurut Hakim Konstitusi I Dewa Gede Palguna, S.H. M.H. para Pemohon dalam permohonannya harus bisa membuktikan bahwa mereka adalah âLembaga Masyarakat Adat Banggaiâ yang menjadi suatu kesatuan masyarakat hukum adat bukan sekadar masyarakat adat.
Begitu pula dengan Pemohon anggota DPRD harus bisa menjelaskan apakah mereka mewakili keseluruhan DPRD secara institusi atau tidak karena hak konstitusionalnya akan berbeda. âAda hak konstitusional yang tidak dapat diwakilkan seperti yang dialami korban penembakan oleh polisi, hak hidup korban tidak dapat diwakilkan kepada anggota keluarga lainnya sehingga pernyataan dalam permohonan juga harus diubah,â jelasnya.
Berkaitan dengan hilangnya adat Banggai, Hakim Konstitusi Natabaya mengatakan bahwa adat itu tidak hilang karena pindahnya ibukota. âMemang tradisi adat bisa hilang tetapi hukum adat tidak. Tidak ada kaitannya pindahnya pemerintahan dengan hilangnya hukum adat,â papar Natabaya.
Ditambahkan oleh Palguna bahwa pengajuan permohonan meskipun diajukan keroyokan belum tentu diterima. Bisa saja satu orang kalau memang dalilnya kuat maka dapat diterima jadi bukan jumlah yang menentukan. âOleh karenanya perlu diperbaiki argumentasi yang berkaitan dengan hak konstitusionalitas. Sehingga tidak mengaburkan permohonan,â tambah Natabaya. (Yogi Djatnika)