Panitera Pengganti Mahkamah Konstitusi Achmad Edi Subiyanto menyambut kedatangan 80 mahasiswa dan 4 dosen pendamping dari Jurusan Pendidikan Kewarganegaraan dan Hukum, Fakultas Ilmu Sosial, Universitas Negeri Yogyakarta di Aula Gedung MK pada Selasa (3/4). Menyambut kedatangan para rombongan, Edi memberikan sejumlah materi yang berkaitan dengan “Peradilan Konstitusi”. Didampingi oleh Halili Hasan selaku moderator yang merupakan salah seorang dosen pendamping, Edi menjelaskan munculnya gagasan judicial reviewyang berfungsi melakukan pengujian undang-undang terhadap konstitusi negara yang bersangkutan. Untuk memastikan konstitusionalitas dari sebuah norma itu, maka negara menggunakan konstitusi itu sendiri. “Tentu teman-teman mahasiswa mengetahui bahwa konstiusi adalah consensus nasional yang dibuat negara yang bersangkutan, yang kemudian dituangkan dalam bentuk norma-norma konstitusi,” jelas Edi.
Berikutnya, Edi juga menjelaskan mengenai adanya istilah judicial review dan judicial preview. Dalam pengamatan Edi, dalam buku-buku pelajaran PPKn siswa di tingkat SMP dan SMA bahasan mengenai konstitusi dan ketatanegaraan telah ada. Untuk itu, Edi mengajak teman-teman mahasiswa yang mendalami ilmu mengenai kewarganegaraan untuk dapat kemudian menyampaikan lembaga-lembaga yang mempunyai fungsi untuk menguji undang-undang terhadap UUD 1945.
Edi mencontohkan bahwa tidak semua negara mempunyai lembaga bernama MK. Sebagai contohnya Prancis, yang dalam sistem ketatanegaraannya terdapat Dewan Konstitusi yang bertugas memastikan Rancangan Undang-Undang (RUU). “Jadi, di negara tersebut berlaku judicial preview, yang memastikan produk undang-undang sesuai dengan UUD negara yang bersangkutan,” jelas Edi.
Adapun mengenai hadirnya Mahkamah Konstitusi di Indonesia yang merupakan sebuah lembaga judicial review, lanjut Edi, tidak terlepas dari upaya untuk memperbaiki ketatanegaraan di Indonesia. Sebelum reformasi, belum ada lembaga yang mengontrol setiap produk yang dihasilkan pembuat undang-undang. Untuk itulah MK hadir guna memastikan bahwa produk yang dihasilkan adalah norma yang sesuai dengan UUD Negara Republik Indonesia 1945.
Akan tetapi, dalam pelaksanaan hal tersebut, jelas Edi, MK adalah lembaga peradilan yang sifatnya pasif. ”Artinya, bersifat menunggu adanya warga negara perseorangan atau kelompok atau lembaga yang mengajukan perkara. Kemudian barulah MK bersifat aktif untuk mengkaji pengujian undang-undang yang dimohonkan Pemohon. dengan catatan terpentingnya adalah batu uji yang digunakan adalah UUD 1945,” urai Edi. (Sri Pujianti/LA)