Uji materiil terhadap aturan sanksi keterlambatan pembayaran pajak sebagaimana tercantum dalam pengujianUU Nomor 28 Tahun 2007 tentang Perubahan Ketiga Atas Undang-Undang Nomor 6 Tahun 1983 tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan (UU KUP) serta UU Nomor 42 Tahun 2009 tentang Perubahan Ketiga atas Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1983 tentang Pajak Pertambahan Nilai Barang dan Jasa dan Pajak Penjualan Atas Barang Mewah (UU PPNBM) ditolak Mahkamah Konstitusi. Sidang pembacaan Putusan Nomor 10/PUU-XVI/2018 digelar Mahkamah Konstitusi (MK) pada Rabu (28/3) siang.
“Amar putusan,mengadili, menolak pemohonan permohonan untuk seluruhnya” ucap Wakil Ketua MK Anwar Usman dalam pembacaan putusan MK yang didampingi tujuh Hakim Konstitusi lainnya.
Direktur Utama PT Harapan Sinar Abadi Henny Victoria selaku Pemohon mendalilkan ketiga pasal tersebut merugikan perusahaan pengadaan alat-alat kesehatan yang dipimpinnya. Ia menganggap keberlakuan pasal tersebut menyebabkan Pemohon mengalami kerugian dan ketidakadilan. Pasal 9 ayat (2a) UU KUP mengatur tentang sanksi denda bagi keterlambatan pembayaran pajak penghasilan. Sedangkan Pasal 13 UU KUP mengatur tentang kewenangan Dirjen Pajak dalam jangka waktu 5 tahun dapat menetapkan pajak kurang serta sanksi dendanya. Sementara Pasal 9 ayat (9) UU PPNBM mengatur tentang jangka waktu setelah 3 bulan bagi pajak yang lebih bayar.
Menurut Pemohon, ketiga ketentuan tersebut telah menghilangkan hak Pemohon untuk menuntut pengajuan kembali kelebihan pembayaran pajak. Sementara negara dapat menuntut pembayaran kurang bayar pajak. Seharusnya keterlambatan Pemohon membayar pajak memberikan keuntungan pada pihak negara atas hak Pemohon yang belum dibayarkan menjadi simpanan kas negara. Lebih sesuai bila wajib pajak dikenakan denda atas keterlambatan ini, misalnya dikreditkan lebih dari 1 tahun (tidak 3 bulan). Sanksi administrasi sebesar 1% (satu persen) per bulan yang dihitung dari tanggal jatuh tempo satu tahun faktur yang diajukan sampai dengan tanggal pengajuan dan bagian dari bulan dihitung penuh 1 (satu) bulan, paling lama 24 bulan.
Terhadap permohonan tersebut, Majelis Hakim Konstitusi menilai Mahkamah memberikan nasihat kepada Pemohon untuk memperbaiki permohonan, terutama mengenai alasan-alasan pengajukan permohonan atau posita. Namun, hingga Sidang Panel perbaikan permohonan pada 6 Maret 2018, Pemohon tidak melakukan perbaikan secara signifikan. Lebih lanjut, Wahiduddin menyampaikan bahwa menimbang perbaikan mendasar yang disarankan Mahkamah pada sidang perbaikan permohonan tersebut, Pemohon tetap saja tidak menjelaskan alasan-alasan yang dimaksud mengapa keberlakuan norma a quo mengurangi hak konstitusional Pemohon. “Padahal penjelasan dan dasar argumentasi mengaitkan keberlakuan norma dalam pasal-pasal UU a quo menjadi roh dasar argumentasi Pemohon,” ujar Hakim Konstitusi Wahiduddin Adams.
Di samping itu, Wahiduddin menjelaskan pasal-pasal yang dimohonkan pengujian konstitusionalitas sama sekali tidak disentuh dan tidak dibahas pada bagian alasan mengajukan pengujian. Pemohon tidak membuktikan inkonstitusional norma undang-undang perpajakan. Adapun kalkulasi Pemohon tentang seharusnya undang-undang di bidang perpajakan diterapkan, justru bertolak dari logika norma undang-undang yang dimohonkan pengujian. Kendati perhitungan pajak yang Pemohon uraikan dalam permohonan ternyata benar, hal tersebut tidak menjadi alasan inkonstitusionalitas norma undang-undang a quo. “Menimbang berdasarkan seluruh pertimbangan, Mahkamah berpendapat permohonan Pemohon tidak beralasan menurut hukum,” tegas Wahiduddin. (Sri Pujianti/LA)