Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2003 tentang Badan Usaha Milik Negara (UU BUMN) dirancang untuk menciptakan sistem pengelolaan dan pengawasan berlandaskan prinsip efisiensi dan produktivitas guna meningkatkan kinerja dan nilai BUMN serta menghindarkan BUMN dari tindakan-tindakan pengeksploitasian di luar asas good corporate governance. Demikian hal ini disampaikan oleh Deputi Bidang Infrastruktur Bisnis Kementerian BUMN Hambra Samal dalam sidang yang digelar Mahkamah Konstitusi (MK) pada Rabu (28/3).
Mewakili Pemerintah, Hambra menjelaskan bahwa UU BUMN juga dirancang untuk menata dan mempertegas peran lembaga dan posisi wakil pemerintah sebagai pemegang saham atau pemilik modal BUMN serta mempertegas dan memperjelas hubungan BUMN selaku operator usaha dengan lembaga pemerintah sebagai regulator.
“Di samping itu, undang-undang ini mengatur ketentuan restrukturisasi dan privatisasi sebagai alat dan cara pembenahan BUMN untuk mencapai cita-citanya, serta hal-hal penting lainnya yang mendukung dan dapat menjadi landasan bagi upaya-upaya penyehatan BUMN,” papar Hambra di hadapan Majelis Hakim yang dipimpin oleh Wakil Ketua MK Anwar Usman tersebut.
Selain itu, menurut Hambra, dalil Pemohon yang menyatakan UU BUMN menyebabkan Pemerintah dapat membentuk anak perusahaan tanpa melalui mekanisme Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) dan menghilangkan status BUMN menjadi anak perusahaan adalah tidak tepat. Pasal 4 ayat (1) UU BUMN dan putusan MK telah tegas menyebutkan bahwa pengelolaan kekayaan negara yang dipisahkan termasuk untuk pembentukan anak perusahaan dilakukan melalui mekanisme korporasi, sesuai prinsip-prinsip yang sehat dan tidak lagi melalui mekanisme APBN.
Tidak Berhubungan dengan PHK
Pemerintah juga menanggapi dalil Pemohon yang menyatakan peleburan, penggabungan BUMN akan menyebabkan berakhirnya perseroan sehingga pegawai dalam perseroan tersebut dapat menyebabkan PHK serta PHK massal yang mengakibatkan hilangnya hak konstitusi Pemohon.
“Sebagaimana yang telah kami tegaskan bahwa ketentuan Pasal 14 ayat (2) dan ayat (3) Undang-Undang BUMN tidak mengatur mengenai dasar untuk proses penggabungan dan peleburan. Namun, hanya sebatas mengenai kewenangan menteri dapat memberi kuasa dan pembatasan atas kuasa di dalam RUPS,” ucap Hambra.
Terhadap penggabungan atau peleburan persero yang tergabung dalam BUMN, menurut Pemerintah, tidak ada kaitannya dengan isu PHK sebagaimana didalilkan Pemohon. Karena sesuai dengan ketentuan Pasal 1 angka 9 dan angka 10 Undang-Undang PT, Hambra memaparkan penggabungan dan peleburan persero secara hukum menyebabkan aktiva dan pasiva termasuk karyawan perusahaan yang terkena penggabungan dan peleburan beralih kepada perusahaan penerima penggabungan dan peleburan.
“Dengan demikian, penggabungan dan peleburan sebagaimana didalilkan Pemohon yang menyatakan akan terjadi PHK, menurut Pemerintah adalah tidak tepat, tidak relevan, dan terlalu berlebihan. PHK dapat terjadi bukan karena pasal tersebut, namun dapat terjadi karena beberapa faktor yang memengaruhinya antara lain masalah likuiditas perusahaan, masalah disiplin pegawai, persaingan usaha dan lain sebagainya,” ungkap Hambra.
Pegawai BUMN PT. PLN (Persero) menguji Pasal 14 ayat (3) huruf (a), (b), (d), (g), dan (h) UU BUMN yang menyebutkan, “Pihak yang menerima kuasa sebagaimana dimaksud dalam ayat (2) wajib terlebih dahulu mendapat persetujuan Menteri untuk mengambil keputusan dalam RUPS mengenai : a. perubahan jumlah modal; b. perubahan anggaran dasar; d. penggabungan, peleburan, pengambilalihan, pemisahan, serta pembubaran Persero; g. pembentukan anak perusahaan atau penyertaan; h. pengalihan aktiva.”
Pemohon perkara Nomor 12/PUU-XVI/2018 mendalilkan bila PP Nomor 72 Tahun 2016 tentang Perubahan Atas Peraturan Pemerintah Nomor 44 Tahun 2006 tentang Tata Cara Penyertaan dan Penatausahaan Negara pada Badan Usaha Milik Negara dan Perseroan Terbatas adalah salah satu perangkat untuk memprivatisasi BUMN tanpa terkecuali. Menurut Pemohon, BUMN yang produksinya menyangkut orang banyak akan diprivatisasi seperti yang tertuang dalam PP Nomor 39 Tahun 2014 tentang “daftar bidang usaha yang tertutup dan bidang usaha yang terbuka dengan persyaratan dibidang penanaman modal”. Pembangkit listrik, transmisi tenaga listrik dan distribusi tenaga listrik swasta dapat memiliki saham hingga 95-100%, yang akan menghilangkan fungsi negara untuk menguasai cabang produksi yang penting bagi Negara yang menyangkut hidup orang banyak.
Pemohon beranggapan, adanya Pasal 14 ayat (3) huruf (a), (b), (d), (g), dan (h) UU BUMN, pemerintah yang diwakili menteri bertindak selaku pemegang saham dapat mengubah Anggaran Dasar (AD) perseroan, meliputi unsur penggabungan, peleburan dan pengalihan aktiva, perubahan jumlah modal, perubahan anggaran dasar, pengambilalihan dan pemisahan tanpa pengawasan dari DPR. (Nano Tresna Arfana/LA)