Pelarangan penggunaan telepon saat berkendara yang sedang menjadi topik pembicaraan di kalangan masyarakat, menggugah Toyota Soluna Community (TSC) mengajukan uji materiil terkait aturan pelarangan tersebut ke Mahkamah Konstitusi. Diwakili oleh Adi Putra selaku Ketua Umum dan Naldi Zen selaku Sekretaris Jenderal (Pemohon I) serta Reza Aditya yang berprofesi supir transportasi online, Pemohon menguji keberlakuan aturan yang tertuang dalam Pasal 106 ayat (1) dan Pasal 283 Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2009 tentang Lalu Lintas dan Angkutan Jalan (UU LLAJ) tersebut.
Pemohon merasa dirugikan hak konstitusionalnya dengan berlakunya Pasal 106 ayat (1) dan Pasal 283 UU LLAJ. Penjelasan Pasal 106 ayat (1) UU LLAJ yang berbunyi,”Yang dimaksud dengan penuh konsentrasi adalah setiap orang yang mengemudikan Kendaraan Bermotor dengan penuh perhatian dan tidak terganggu perhatiannya karena sakit, lelah, mengantuk, menggunakan telepon, atau menonton televisi atau video yang terpasang di kendaraan, atau meminum minuman yang mengandung alkohol atau obat-obatan sehingga mempengaruhi kemampuan dalam mengemudikan kendaraan.”
Sementara, Pasal 283 UU LLAJ yang berbunyi “Setiap orang yang mengemudikan kendaraan bermotor di jalan secaratidak wajar dan melakukan kegiatan lain atau dipengaruhi oleh suatu keadaan yang mengakibatkan gangguan konsentrasi dalam mengemudi di jalan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 106 ayat (1) dipidana dengan pidana kurungan paling lama 3 (tiga) bulan atau denda paling banyak Rp750.000,00 (tujuh ratus lima puluh ribu rupiah).”
Pemohon menilai ketentuan tersebut bertentangan secara bersyarat terhadap UUD 1945, terutama Pasal 1 ayat (3) dan Pasal 28D ayat (1). Pemohon beralasan bahwa frasa “menggunakan telepon“ pada Penjelasan Pasal 106 ayat (1) UU LLAJ tersebut, sebagai salah satu sebab terganggunya konsentrasi pengemudi kendaraan bermotor haruslah memiliki maksud yang jelas. Sehingga, tidak terjadi multitafsir dalam pemberlakuannya.
“Artinya, perlu dijelaskan maksud dari frasa tersebut apakah pengguna telepon tersebut untuk berkomunikasi sehingga terjadi interaksi antara pengemudi dengan orang yang dihubungi? Maka, hal tersebut tentu dapat dikategorikan kegiatan yang dapat menyebabkan terganggunya konsentrasi pengemudi. Atau apakah penggunaan telepon tersebut hanya untuk menggunakan GPS (Global Positioning System) sebagai pemandu jalan menuju lokasi yang ditentukan,” jelas Ade Manansyah selaku kuasa hukum Pemohon.
Ade melanjutkan apabila penggunaan telepon dengan maksud menggunakan GPS, maka tentu hal tersebut tidak mengganggu konsentrasi pengemudi. Dengan demikian, lanjutnya, tidak ada komunikasi dua arah melalui telepon yang dapat memengaruhi konsentrasi pengemudi. Berkaitan dengan ketentuan norma a quo yang dirumuskan pada 2009, lanjut Ade, tentu belum terpikir oleh pembuat undang-undang akan ada profesi yang bekerja dengan menggunakan GPS seperti Pemohon II yang memanfaatkan teknologi tersebut sebagai pengemudi transportasi online.
“Jika ketentuan norma a quo diberlakukan bagi pengemudi online dan apabila ketentuan norma a quo juga dimaknai sesuai dengan keinginan aparat penegak hukum, maka pengemudi transportasi online dalam menjalankan profesinya akan selalu terkena sanksi pidana sebagaimana diatur dalam Pasal 283 UU LLAJ. “Sehingga tidak dapat memenuhi kebutuhan hidupnya,” tegas Ade.
Berikutnya, berkiatan dengan Pasal 283 UU LLAJ, Ade menjabarkan bahwa bagian penjelasan dari norma a quo hanya menyebutkan “cukup jelas” maksud dari frasa “melakukan kegiatan lain atau dipengaruhi oleh suatu keadaan yang mengakibatkan gangguan konsentrasi dalam mengemudi di jalan”,salah satunya menggunakan telepon. Artinya, norma tersebut juga tidak memberikan penjelasan penggunaan telepon dalam hal apa sehingga dikatakan dapat mengakibatkan gangguan konsentrasi bagi pengemudi kendaraan di jalan.
Untuk itu, para Pemohon perkara Nomor 23/PUU-XVI-2018 melalui Petitum memohon ketentuan norma bertentangan dengan UUD 1945 dan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat sepanjang tidak dimaknai “dikecualikan untuk pengguna sistem navigasi yang berbasiskan satelit atau GPS yang terdapat dalam telepon pintar”.
Filosofi Norma
Menanggapi uraian para Pemohon, panel hakim yang dipimpin oleh Hakim Konstitusi Aswanto dengan didampingi Hakim Konstitusi Wahiduddin Adams dan Manahan M.P. Sitompul memberikan saran perbaikan. Wahiduddin memberikan perhatian terhadap pentingnya para Pemohon mencermati pasal yang diujikan, yakni Pasal 106 yang terdapat pada bagian ke-4 UU LLAJ. Di dalam bagian tersebut, termuat tata cara berlalu lintas dalam rangka ketertiban dan keselamatan.
“Perlu para Pemohon memaknai filosofi norma tersebut adalah memberikan tata cara berlalu lintas sehingga norma yang diujikan tersebut masuk dalam kerangka norma ketertiban dan keselamatan berlalu lintas. Sedangkan, UU yang Saudara ujikan tentang penggunaan telepon ini perlu diberikan konstitusional bersyarat,” terang Wahiduddin.
Sedangkan Hakim Konstitusi Manahan Sitompul meminta para Pemohon untuk memperkuat kedudukan hukum pihaknya sehingga tidak hanya dihubungkan untuk kepentingan organisasi atau pengemudi transportasi online. “Bagaimana pula nanti dengan kepentingan konsumen? Karena nanti putusan ini sifatnya erga omnes yang tidak hanya berlaku untuk pihak-pihak tertentu saja. Jadi, lihat lagi untuk kepentingan umumnya. Gambarkan lebih jelas lagi keterkaitan seluruhnya,” saran Manahan.
Selanjutnya, Hakim Konstitusi Aswanto mencermati permohonan dari segi perlu adanya komparasi aturan yang berlaku di Indonesia ini dengan negara lain yang juga mengalami perkembangan penggunaan teknologi GPS sebagai bagian yang tidak terelakkan sebagai kebutuhan transportasi masyarakatnya.
“Perlu lakukan komparasi dengan norma dari negara lain, misalnya soal telepon yang ada pada kendaraan, yang dengan teknologi tinggi sudah diatur mengenai perangkat tersebut dan bahkan melekat di mobil. Jadi, kita tidak perlu pegang telepon. Apakah itu juga di negara lain dianggap sebagai sebuah persoalan?” jelas Aswanto.
Sebelum mengakhiri persidangan, Aswanto mengingatkan para Pemohon apabila berkenan memperbaiki permohonan untuk diserahkan ke Kepaniteraan MK selambat-lambatnya pada Rabu, 11 April 2018 pukul 10.00 WIB agar dapat diagendakan untuk sidang berikutnya. (Sri Pujianti/LA)