Mahkamah Konstitusi mengadakan sidang pengujian UU No. 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana di ruang sidang Panel MK, Senin (18/2), dengan agenda Pemeriksaan Pendahuluan.
Perkara ini diajukan oleh satu orang pemohon, Soeparno, yang bertindak atas nama dan untuk dirinya sendiri tanpa didampingi kuasa hukum. Dalam permohonannya yang diregistrasi dengan No. 5/PUU-VI/2008 Pemohon menginginkan adanya keadilan menyangkut masalah Pemohon yang terjadi sebelumnya.
Pemohon dalam materi dan petitum permohonannya meminta Mahkamah Konstitusi menyatakan Pasal 77 huruf a, Pasal 83 Ayat (1) dan Ayat (2) KUHAP bertentangan dengan UUD 1945, serta menyatakan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat.
Pasal 77
Pengadilan negeri berwenang untuk memeriksa dan memutus, sesuai dengan ketentuan yang diatur dalam undang-undang ini tentang :
a. sah atau tidaknya penangkapan, penahanan, penghentian penyidikan atau penghentian penuntutan;
Pasal 83
(1) Terhadap putusan praperadilan dalam hal sebagaimana dimaksud dalam Pasal 79, Pasal 80 dan Pasal 81 tidak dapat dimintakan banding.
(2) Dikecualikan dari ketentuan ayat (1) adalah putusan praperadilan yang menetapkan tidak sahnya penghentian penyidikan atau penuntutan, yang untuk itu dapat dimintakan putusan akhir ke pengadilan tinggi dalam daerah hukum yang bersangkutan.
Dalam permohonannya, Pemohon menceritakan bahwa dia sedang mengalami jalan buntu untuk memperoleh kepastian hukum atas perkara pidana penggelapan yang menimpanya, akibat telah dihentikannya penyidikan selama tujuh tahun.
Permasalahan ini berawal dari pembelian mobil oleh Pemohon secara kredit. Dalam perkembangannya meskipun Pemohon telah memenuhi kewajibannya untuk membayar kredit ditambah sejumlah uang setoran. Mobil tersebut ditarik kembali oleh pemberi kredit untuk dijual kembali. Untuk itu Pemohon telah melakukan upaya hukum sampai ke tingkat Kasasi yang dimenangkan oleh Pemohon. Akan tetapi pemberi kredit menolak mengembalikan secara penuh uang yang telah dibayarkan dan hanya memberikan sebagian saja.
Upaya lanjutan Pemohon kepada pihak kepolisian ternyata tidak membuahkan hasil. Tidak ada tindakan apapun yang dilakukan. Oleh karenanya Pemohon mengajukan Permohonan kepada Mahkamah Konstitusi.
Pemohon juga menjelaskan bahwa pra-peradilan dalam Pasal 77 huruf a, Pasal 83 Ayat (1) dan Ayat (2) KUHAP kabur dan sangat merugikan hak konstitusional Pemohon karena tidak mencantumkan perihal adanya surat penghentian penyidikan atau surat penghentian penuntutan yang mana hal tersebut merupakan batasan atau aturan yang sangat penting guna mendapatkan kepastian hukum.
Kepada Pemohon, Majelis Panel Hakim Konstitusi yang diketuai Hakim Konstitusi, Prof. Natabaya S.H., LLM. menyarankan agar Pemohon melakukan upaya hukum yang lain seperti memasang berita di surat kabar karena ini adalah masalah penegakan hukum bukan masalah pelanggaran norma hukum. âMasalah yang terjadi adalah polisi tidak melakukan tugasnya meski ada pengaduan. Oleh karena itu hal tersebut bukan wewenang Mahkamah Konstitusi. Jadi Polisi yang salah karena tidak melaksanakan tugasnya, bukan normanya yang salah,â tambah Hakim Konstitusi H. Achmad Roestandi, S.H.
Turut menambahkan, Hakim Konstitusi, Prof. H. M. Laica Marzuki, S.H. menyarankan agar permohonan Pemohon fokus pada permasalahan pengujian norma, maka sebaiknya Pemhon didampingi penasihat hukum. âPemohon bisa mencari lembaga bantuan hukum karena ada jasa bantuan hukum yang tidak dibayar,â Saran Laica.
Sebelum menutup persidangan, Majelis Panel Hakim juga menyarankan Pemohon untuk mempertimbangkan apakah akan meneruskan permohonan ataukah menarik kembali permohonannya. (Wiwik Budi Wasito/Yogi Djatnika)