Demokrasi yang dipilih Indonesia memiliki kelemahan dengan adanya suara mayoritas. Cacat bawaan yang dimiliki demokrasi ini dapat diimbangi oleh keberadaan sistem nomokrasi. Hal ini disampaikan oleh Peneliti MK Luthfi Widagdo Eddyono dan Helmi Kasim ketika menemui Mahasiswa Fakultas Hukum Universitas Pancasila, Rabu (28/3) pagi di Ruang Konferensi MK.
Sebelumnya, Luthfi menjelaskan mengenai Perubahan UUD 1945 yang berlangsung pada 1999 – 2002 dalam empat tahap yang mengubah sistem ketatanegaraan Indonesia. Menurutnya, sebelum Perubahan UUD 1945, kekuasaan yang dimiliki sangat besar dan luas termasuk dalam membentuk undang-undang. Perubahan UUD 1945, lanjut Luthfi, membatasi kekuasaan presiden dan berimbas pembentukan UU harus dilakukan Presiden dan DPR.
“Tujuan amandemen adalah untuk melengkapi aturan inti hidup sebagai negara, yang menyebabkan penyalahgunaan kekuasaan di masa lalu. Dua prinsip dasar yang diadopsi dan diperkuat dalam perumusan baru UUD 1945 adalah: (i) prinsip demokrasi konstitusional, dan (ii) prinsip kedaulatan hukum demokratis atau "democratische rechtsstaat", jelas Luthfi di hadapan mahasiswa yang juga berasal dari Malaysia tersebut.
Luthfi melanjutkan, dampak lain Perubahan UUD 1945 adalah lahirnya lembaga seperti Mahkamah Konstitusi dan Komisi Yudisial. “Untuk menjaga keberadaan UUD 1945 sebagai Konstitusi, Mahkamah Konstitusi RI dibentuk sebagai salah satu pelaku kekuasaan kehakiman yang menyelenggarakan proses peradilan untuk menegakkan hukum dan keadilan,” ujar Luthfi.
Kemudian, Helmi memberikan pemaparan mengenai kewenangan yang dimiliki MK. Kewenangan tersebut, yakni menguji undang-undang terhadap Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945; memutus Sengketa kewenangan lembaga negara yang kewenangannya diberikan oleh UUD Negara Republik Indonesia Tahun 1945; memutus pembubaran partai politik; memutus perselisihan tentang hasil pemilihan umum; serta Mahkamah Konstitusi wajib memberikan putusan atas pendapat DPR bahwa Presiden dan/atau Wakil Presiden diduga melakukan pelanggaran (impeachment). “Namun ada kewenangan tambahan yang diberikan undang-undang, bukan oleh Konstitusi, yakni memutus sengketa hasil pemilihan kepala daerah. Pada 2018, akan ada sebanyak 171 daerah yang mengadakan pemilihan pada 27 Juni 2018 mendatang,” ujar Helmi.
Pada sesi tanya jawab, salah satu mahasiswa yang berasal dari Malaysia mempertanyakan kewenangan MK memutus constitutional complaint dan judicial preview. Menanggapi pertanyaan tersebut, Luthfi menjelaskan MK tidak memiliki kewenangan tersebut. Meski MKRI mengadopsi jumlah hakim seperti MK Korea Selatan, namun untuk kewenangan contitusional complaint, MKRI tidak mengadopsi dari Korea Selatan. “MKRI mengadopsi jumlah sembilan hakim dari MK Korea Selatan. Tapi tidak dengan kewenangan constitutional complaint. MKRI tidak memiliki kewenangan itu dan tidak ada pengadilan di Indonesia yang memiliki kewenangan tersebut,” urai Luthfi.
Terkait pertanyaan mengenai Pemohon yang dapat mengajukan permohonan ke MK, Helmi menjawab seluruh warga negara Indonesia dapat mengajukan permohonan sesuai dengan Pasal 51 ayat (1) UU MK. Ia mencontohkan perkara yang diajukan oleh seorang petugas keamanan yang mempermasalahkan kedaluarsa pembayaran pesangon dalam UU Ketenagakerjaan. “Oleh Mahkamah Konstitusi, aturan tersebut dibatalkan dan permohonan Pemohon dikabulkan,” ulasnya.
Luthfi menambahkan warga negara yang memiliki kedudukan hukum mengajukan permohonan ke MK selain pemohon perseorangan, yakni kesatuan masyarakat hukum adat sepanjang masih hidup dan sesuai dengan perkembangan masyarakat dan prinsip Negara Kesatuan Republik Indonesia yang diatur dalam undang-undang; badan hukum publik atau privat; atau lembaga negara. (Lulu Anjarsari)