Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2018 tentang Majelis Permusyawaratan Rakyat, Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah, dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (UU MD3) kembali digugat ke Mahkamah Konstitusi (MK) pada Kamis (29/3). Kali ini, perkara yang teregistrasi dengan Nomor 25/PUU-XVI/2018 diajukan oleh Muhammad Hafidz (Pemohon I) dan Abda Khair Mufti (Pemohon II).
Kedua Pemohon berkeberatan dengan keberlakuan Pasal 122 huruf I dan Pasal 245 ayat (1) UU MD3 yang dianggap melanggar hak konstitusionalnya. Pasal 122 huruf l UU MD3 menyatakan, “Dalam melaksanakan fungsi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 121A, Mahkamah Kehormatan Dewan bertugas: l. “Mengambil langkah hukum dan/atau langkah lain terhadap orang perseorangan, kelompok orang, atau badan hukum yang merendahkan kehormatan DPR dan Anggota DPR”. Pasal 245 ayat (1) menyatakan, “Pemanggilan dan permintaan keterangan kepada Anggota DPR sehubungan dengan terjadinya tindak pidana yang tidak sehubungan dengan pelaksanaan tugas sebagaimana dimaksud dalam Pasal 224 4 harus mendapatkan persetujuan tertulis dari Presiden setelah mendapat pertimbangan dari Mahkamah Kehormatan Dewan”.
Dalam persidangan, Abda Khair Mufti mengungkapkan rumusan dalam Pasal 122 huruf l Undang-Undang MD3 sepanjang frasa tindakan hukum telah berlebihan dan sesungguhnya tidak saja hanya bersifat penegasan serta memperlihatkan adanya standar ganda dari hak-hak setiap orang yang dapat dimintai pertanggungjawaban atas perbuatannya, termasuk Pemohon I sebagai penyelenggara usaha pers.
“Sebagaimana telah diatur dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana dan atau Kitab Undang-Undang Hukum Perdata, tetapi juga seolah-oleh memberikan kewenangan lain yang tidak terbatas kepada Majelis Kehormatan Dewan atau MKD DPR dengan adanya rumusan norma tindakan lain dalam pasal a quo,” ujar Abda.
Dijelaskan Abda, MKD yang memiliki tugas untuk melakukan pencegahan, pengawasan, pemantapan, penyelidikan, hingga memutus perkara etik anggota DPR maupun sistem pendukung DPR. Oleh karena itu, lanjutnya, MKD merupakan salah satu alat kelengkapan DPR yang susunan ketua dan keanggotaannya berasal dari anggota DPR sehingga menjadi tidak etis, bahkan dapat menimbulkan conflict of interest apabila dibutuhkan pertimbangan MKD pada saat anggota DPR akan dilakukan pemanggilan dan permintaan keterangan atas dugaan terjadinya sebuah tindak pidana.
Selain itu, lanjut Abda, dengan mempertimbangkan Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 76/PUU-XII/2014 tanggal 20 September 2015, telah menyatakan frasa persetujuan tertulis dari Mahkamah Kehormatan Dewan dalam Pasal 245 ayat (1) Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2014 bertentangan dengan Undang-Undang Dasar Tahun 1945 dan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat sepanjang tidak dimaknai ‘persetujuan tertulis dari presiden.’ Dengan demikian, maka secara mutatis mutandis menjadi bahan pertimbangan hukum dalam permohonan a quo.
Muhammad Hafidz yang juga hadir dalam persidangan tersebut menjelaskan Pasal 245 UU MD3 telah menghilangkan pengaturan batasan waktu penerbitan persetujuan tertulis dari Presiden, sebagaimana telah pernah diatur dalam Pasal 245 ayat (2) Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2014. Pengaturan batasan waktu bagi Presiden untuk menerbitkan persetujuan tertulis bagi pemeriksaan anggota DPR karena adanya dugaan tindak pidana selain tindak pidana khusus, menjadi amat penting. “Karena secara subjektif tidak menutup kemungkinan bagi Presiden untuk tidak memberikan atau menggantung persetujuan tertulisnya. Oleh karenanya sangat relevan dan diperlukan untuk tetap melekatkan batasan waktu pemberian persetujuan tertulis atas pemeriksaan anggota DPR,” imbuhnya.
Perbaiki Kedudukan Hukum
Hakim Konstitusi I Dewa Gede Palguna menanggapi dalil permohonan yang menegaskan Pemohon I adalah pengelola situs www.buruh-online.com yang berisi berita hukum serta politik ketenagakerjaan yang di antaranya juga menyajikan informasi, dan pandangan, atau pendapat terhadap kinerja wakil rakyat di Dewan Perwakilan Rakyat atas proses legislasi yang berkait dengan Undang-Undang Ketenagakerjaan.
“Kalau ada buktinya mengenai hal ini, dilampirkan tentang apa namanya, jenis kegiatan yang misalnya mengelola informasi itu kalau ada yang berkait dengan ini. Karena Anda mengatakan telah menyajikan informasi, dan pandangan, atau pendapat terhadap wakil rakyat itu kan? Kalau itu sudah ada ininya, dijadikan bukti saja sehingga lebih meyakinkan kami dalam menilai kerugian konstitusional yang berkait dengan kedudukan hukum atau legal standing Saudara,” ujar Palguna.
Sedangkan Hakim Konstitusi Saldi Isra memberikan saran dan catatan kepada Pemohon terkait kedudukan hukum yang dimiliki Pemohon. Misalnya, lanjutnya, jika bertindak sebagai badan hukum privat, harus ditunjukkan pihak yang berhak mewakili badan hukum sesuai anggaran dasar. (Nano Tresna Arfana/LA)