Permohonan Suharto, dosen Fakultas Teknik Universitas Brawijaya Malang, yang menguji Pasal 48 ayat (3) Undang-Undang Nomor 14 Tahun 2005 tentang Guru dan Dosen (UU Guru dan Dosen) akhirnya ditolak Mahkamah Konstitusi (MK).
“Amar putusan mengadili, menolak permohonan Pemohon untuk seluruhnya,” tegas Wakil Ketua MK Anwar Usman selaku Ketua Pleno didampingi para hakim konstitusi lainnya pada sidang pengucapan putusan, Rabu (28/3).
Sebelumnya, Pemohon menguji Pasal 48 ayat (3) UU Guru dan Dosen yang menyebutkan, “Persyaratan untuk menduduki jabatan akademik profesor harus memiliki kualifikasi akademik doktor”. Pemohon yang telah bekerja sebagai dosen hampir 30 tahun merasa terhalang kenaikan pangkat karena aturan a quo.
Terkait dalil Pemohon bahwa frasa “kualifikasi akademik” dalam Pasal 48 ayat (3) UU Guru dan Dosen tidak memberikan kepastian hukum bagi lektor kepala, Mahkamah berpendapat bahwa frasa itu justru memberikan kepastian hukum bukan hanya bagi Pemohon. Tetapi juga kepada setiap orang yang akan menduduki suatu jabatan atau tingkat pendidikan yang lebih tinggi.
“Kualifikasi akademik menjadi syarat mutlak yang dapat dilihat dan dinilai dari pendidikan seseorang. Dalil Pemohon a quo lebih menekankan kebutuhan hukum bagi Pemohon yang menginginkan norma baru dikarenakan norma dari Undang-Undang yang dimohonkan pengujian a quo kurang menguntungkan Pemohon untuk menyandang gelar Profesor,” kata Hakim Konstitusi Aswanto yang membacakan pendapat Mahkamah.
Mahkamah berpendapat, praktik yang berbeda di negara yang menerapkan sistem yang juga berbeda, bukanlah kriteria universal yang secara baku dapat diberlakukan terhadap semua negara. Lebih-lebih jika hal itu digunakan untuk menilai konstitusionalitas suatu norma Undang-Undang yang tunduk pada sistem ketatanegaraan yang didasarkan pada Konstitusi masing-masing negara.
“Bahkan kalaupun ada kaidah-kaidah akademik yang dapat diterima secara universal, hal itu tetap tidak dapat digunakan untuk menilai konstitusionalitas suatu kaidah Undang-Undang yang berlaku di suatu negara. Kaidah-kaidah akademik demikian mungkin berguna sebagai bahan perbandingan, dengan maksud untuk memperbaiki sistem pendidikan khususnya pendidikan tinggi. Tetapi jelas tidak dapat dijadikan dasar untuk menyatakan suatu norma Undang-Undang bertentangan dengan Konstitusi,” papar Aswanto membacakan Putusan Nomor 87/PUU-XV/2017 tersebut.
Berdasarkan seluruh pertimbangan di atas, Mahkamah berpendapat bahwa ternyata tidak terdapat persoalan inkonstitusionalitas dalam materi muatan Pasal 48 ayat (3) UU Guru dan Dosen. Dengan demikian, menurut Mahkamah, permohonan Pemohon tidak beralasan menurut hukum. (Nano Tresna Arfana/LA)