Prinsip pajak termasuk Pajak Bumi dan Bangunan (PBB) adalah prinsip manfaat dan kemampuan untuk membayar (benefit principle and ability to pay). Hal ini disampaikan oleh Machfud Sidik selaku ahli yang dihadirkan Pemerintah dalam sidang uji materiil Undang-Undang Nomor 12 Tahun 1985 tentang Pajak Bumi dan Bangunan (UU PBB) pada Senin (26/3).
Dalam keterangannya, Machfud menyebut PBB lebih dekat dengan prinsip manfaat (benefit principle) yang berarti masyarakat mendapatkan manfaat atas berbagai fasilitas dan berbagai kemudahan yang ada di negara tersebut. “Maka dia mendapatkan benefit, yaitu berupa misalnya saja jalan yang baik, lingkungan pemukiman yang lebih baik, dan sebagainya. Itulah salah satu filosofi dari pada pajak bumi dan bangunan,” ujar Dirjen Pajak Kementerian Keuangan periode 2000 – 2001 tersebut.
Dikatakan Machfud, pajak sebagai bagian dari ketatanegaraan di berbagai negara yang pemerintahnya mengenal dengan pemerintah lebih bawah, yaitu pemerintah daerah provinsi ataupun kabupaten dan kota, maka beberapa jenis pajak itu telah diserahkan menjadi yang dikenal dengan taxing power kepada pemerintah daerah, yang dikenal dengan desentralisasi.
“Proses desentralisasi perpajakan dan menjadi urusan pemerintahan ke tingkat pemerintah yang lebih rendah merupakan unsur penting dalam reformasi fiskal, baik di negara maju maupun negara berkembang termasuk Indonesia. Bahkan Indonesia telah melakukan proses desentralisasi yang dikenal dengan big bang desentralisasi drastis. Salah satunya adalah memberikan kewenangan yang lebih besar kepada pemerintah daerah untuk menyelenggarakan pelayanan kepada masyarakat. Karena pada umumnya pelayanan itu pada dasarnya adalah yang dilakukan pemerintah yang di bawah, yaitu pemerintah kabupaten dan kota,” tambah Machfud.
Oleh karena itu, lanjut Machfud, di berbagai negara termasuk Indonesia, daerah diberikan kewenangan untuk memungut pajak, salah satunya adalah pajak bumi dan bangunan. Sumber pendapatan asli daerah dari berbagai studi yang ada, yaitu merupakan tantangan yang harus dilaksanakan oleh negara yang menganut sistem desentralisasi. “Bagaimana daerah bisa mendapatkan ruang untuk memberikan layanan kepada masyarakat. Di lain pihak, dia diberikan ruang juga untuk memungut pajak, salah satunya adalah pajak bumi dan bangunan,” ucapnya.
Dijelaskan Machfud, hubungan kausalitas antarpenyediaan barang publik yang sifatnya lokal dengan pengenaan pajak ini sudah terbukti dengan berbagai teori dan empiris. Salah satunya dengan sistem perpajakan yang harus dimaknai sebagai bagian dari model sosial ekonomi dan merepresentasikan masyarakat sosial, politik, serta kebutuhan ekonomi masyarakat dalam periode tertentu.
“Hal ini dilakukan di berbagai negara maju termasuk diikuti oleh negara Indonesia. Tetapi, perlu diingat bahwa konsep kesetaraan dan keahlian di bidang perpajakan perlu diperhatikan, menjadi urat nadi sistem perpajakan yang baik. Kehadiran sistem perpajakan itu sudah diusahakan dari berbagai ketentuan, berbagai teori di berbagai negara. Termasuk di Indonesia dengan menganut kriteria pajak yang baik, yaitu memperhatikan equality,” urai Machfud.
Permohonan yang teregistrasi dengan nomor perkara 3/PUU-XVI/2018 ini diajukan oleh Jestin Justian, Ezra Prayoga Manihuruk, Agus Prayogo, dan Nur Hasan. Pada sidang perdana, keempat Pemohon yang terdiri dari dua orang mahasiswa, seorang karyawan swasta dan seorang pensiunan ini menjelaskan kedudukan hukumnya. Jestin Justian, seorang mahasiswa mengaku mengalami kerugian karena kehilangan kesempatan memperoleh satu bidang tanah karena tidak dapat membayar Pajak Bumi dan Bangunan (PBB). Pasalnya, sebagai seorang mahasiswa Jestin belum mempunyai pendapatan untuk membayar pajak tersebut.
Senada dengan Jestin, Ezra Prayoga Manihuruk yang juga masih mahasiswa menyatakan dirinya terlambat membayar uang kuliah karena orang tuanya perlu membayar kewajiban PBB terlebih dahulu sehingga dirinya kena denda dari institusi tempatnya menempa ilmu. Sementara Agus Prayogo karyawan swasta menjelaskan dirinya mengalami kerugian dalam hal menunggak pajak rumah sehingga terakumulasi suatu nominal tunggakan pajak PBB yang besar. Sedangkan Nur Hasan mengeluhkan tidak kuat membayar PBB setiap tahun yang cenderung meningkat, karena dirinya sudah pensiun sehingga tidak punya penghasilan memenuhi kewajiban untuk pajak PBB tersebut.
Para pemohon menguraikan, dalam UU 12/1985, alasan mempunyai suatu hak dan memperoleh manfaat dijadikan landasan dikenakannya pajak. Sehingga alasan ini sangatlah bertentangan dengan frasa bertempat tinggal yang di dalamnya menjamin adanya hak untuk memiliki dan memperoleh manfaat atas objek yang dimiliki, seperti yang diatur dalam konstitusi UUD 1945. Saat pembelian suatu objek bumi dan bangunan setiap orang atau badan sudah dikenakan BPHTB (Bea Perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan), maka menurut para Pemohon, seharusnya setiap tahunnya para Pemohon tidak perlu lagi memiliki kewajiban untuk membayar Pajak Bumi dan Bangunan (PBB).(ARS/LA)