Direktur PT Timsco Indonesia S. A. Habibie mengajukan uji materi Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1986 tentang Peradilan Tata Usaha Negara sebagaimana yang telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 9 Tahun 2004 dan Undang-Undang Nomor 51 Tahun 2009 (UU PTUN). Sidang perdana yang dipimpin Hakim Konstitusi Manahan M.P. Sitompul tersebut digelar pada Senin (26/3) di Ruang Sidang Pleno MK.
Dalam permohonannya, Pemohon menyatakan frasa “sembilan puluh hari” dalam Pasal 55 UU PTUN telah merugikan hak konstitusionalnya karena menghalangi Pemohon untuk mendapatkan keadilan. Pasal 55 UU PTUN berbunyi,“Gugatan dapat diajukan hanya dalam tenggang waktu sembilan puluh hari terhitung sejak saat diterimanya atau diumumkannya Keputusan Badan atau Pejabat Tata Usaha Negara.”
Dahlan Pido selaku kuasa hukum Pemohon mengatakan frasa tersebut menyatakan secara konseptual, tenggang waktu 90 hari dalam hukum acara PTUN tersebut termasuk sangat singkat. Apalagi jika dibandingkan dengan ketentuan batas waktu menggugat dalam hukum acara perdata, khususnya ketentuan pasal 835, 1963, dan 1967 KUHPerdata yang tenggang waktunya 30 tahun.
Di samping jangka waktu yang pendek, norma a quo juga dinilai Pemohon, menimbulkan pengeluaran biaya yang banyak dalam mengajukan gugatan kepemilikan atas tanah. “Sehingga batasan tenggang waktu gugatan di PTUN tersebut mutlak diperpanjang seperti yang diatur oleh Surat Edaran Mahkamah Agung (SEMA) Nomor 2/1991, yang mengatur perpanjangan masa tenggang waktu menggugat di PTUN,” jelas Dahlan.
Lebih lanjut, Dahlan menjelaskan bahwa pada kasus yang dialami Pemohon terlihat aturan yang diberlakukan tidak jelas mengenai batas kedaluarsa gugatan, ada aturan yang menyatakan batas waktu 90 hari (berdasarkan Pasal 55 UU Nomor 5/1986), namun ada lebih dari 4 bulan (Pasal 3 ayat (3) UU Nomor 5/1986), bahkan ada aturan yang menyebutkan kapan saja bisa mengajukan gugatan selama ada kepentingannya dirugikan (SEMA Nomor 2/1991).
“Bahwa ketidaksinkronan antara peraturan perundang-undangan yang satu dengan lainnya menimbulkan ketidakpastian hukum. Maka, frasa sembilan puluh hari dalam pasal a quo yang dimohonkan terbukti bertentangan dengan ketentuan Pasal 1 ayat (3), Pasal 27 ayat (1), dan Pasal 28D ayat (1) UUD 1945,” jelas Dahlan.
Dalam permohonannya, Pemohon memohon kepada MK agar frasa “sembilan puluh hari” dalam Pasal 55 UU Nomor 5/1986 bertentangan dengan UUD 1945 dan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat sehingga terjadi keharmonisan dan keselarasan norma tentang tenggang waktu seperti dalam SEMA Nomor 2/1991.
Kerugian Konstitusional
Menanggapi permohonan Nomor 22/PUU-XVI/2018 tersebut, Hakim Konstitusi Manahan Sitompul memberikan tanggapan terkait ada perkara serupa yang pernah diputuskan MK beberapa waktu lalu. Untuk itu, Pemohon diminta mempelajari lebih lanjut mengenai putusan yang telah ada tersebut agar kemudian dielaborasikan dengan perkara yang dialami Pemohon pada saat ini. “Jadi, coba uraikan perbedaan permohonan yang diajukan ini dengan yang terdahulu,” saran Manahan.
Di samping itu, Manahan juga meminta agar Pemohon lebih menegaskan kerugian konstitusional yang dialami dengan berlakukannya UU a quo. Dalam permohonannya, jelas Manahan, Pemohon lebih menjelaskan mengenai kasus konkret yang dialami. Akibatnya, kerugian konstitusional Pemohon belum terlihat dengan baik dalam permohonan yang diajukan tersebut.
Kemudian, Hakim Konstitusi Aswanto melihat bahwa dalam permohonan Pemohon lebih menguraikan kasus konkret yang dialami dalam gugatan atas kepemilikan tanah, sedangkan kewenangan MK adalah lebih pada norma yang ada pada pasal a quo yang merugikan Pemohon. “Dari yang diuraikan, kita ini diminta menangani kasus konkret, sedangkan kewenangan kita lebih pada norma. Jadi, elaborasi lagi uraian kasus konkret itu dengan norma yang ada di pasal ini, pada bagian mana Pemohon mengalami kerugian konstitusional dan dikaitkan pula dengan Pasal 51 UU MK,” terang Aswanto.
Sedangkan, Hakim Konstitusi Wahiduddin Adams juga mencermati permintaan Pemohon terhadap frasa “sembilan puluh hari” tersebut hanya atas kepemilikan tanah, sedangkan Putusan MK berlaku dan berdampak luas apabila telah diputuskan. “Pikirkan kembali pemberlakuan frasa tersebut karena permohonan ini lebih banyak menekankan alasan terkait dengan kerugian, sedangkan uraian kerugian potensial dan aktual belum dijabarkan,” jelasnya.
Pada akhir persidangan, Manahan menyampaikan bahwa Pemohon diberikan waktu hingga Senin, 9 April 2018 untuk memperbaiki permohonan. (Sri Pujianti/LA)