Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2018 tentang Majelis Permusyawaratan Rakyat, Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (UU MD3) yang baru disahkan, kembali diuji ke Mahkamah Konstitusi (MK). Kali ini Agus Mulyono Herlambang selaku Ketua Umum Pengurus Besar Pergerakan Mahasiswa Islam Indonesia (PB PMII) menguji Pasal 73 ayat (3), Pasal 73 ayat (4), Pasal 122 huruf k dan Pasal 245 ayat (1) UU MD3. Sidang perdana perkara Nomor 21/PUU-XVI/2018 tersebut digelar pada Kamis (22/3) siang.
Dalam permohonannya, Pemohon menilai alasan pemanggilan paksa bertentangan dengan peran dan fungsi DPR, yaitu memenuhi aspirasi dan kepentingan seluruh rakyat. Menurut Pemohon, langkah hukum yang dapat diambil oleh Mahkamah Kehormatan Dewan (MKD) berpotensi membungkam suara rakyat.
“Undang-Undang MD3 memberikan hak imunitas kepada anggota DPR terhadap semua dugaan tindak pidana yang dilakukan anggota DPR. Hal ini jelas-jelas perlakuan yang tidak adil dan mencederai rasa keadilan karena dalam hal anggota DPR tidak dalam rangka pelaksanaan tugasnya sebagai anggota DPR. Maka pada hakikatnya dia harus kembali kepada kapasitasnya sebagai warga negara biasa. Seharusnya prosedur hukum terkait pemanggilan dan pemeriksaan dalam hal adanya dugaan tindak pidana yang berlaku untuk semua warga negara, juga harus diberlakukan kepada anggota DPR yang bersangkutan,” ujar La Radi Eno selaku kuasa hukum Pemohon.
Selain itu, Pemohon beranggapan bahwa jaminan kepastian hukum adalah hak setiap warga negara, sehingga aturan tentang hak imunitas anggota DPR pada dasarnya inkonstitusional. Oleh karena itu, Pemohon meminta penerjemahan dari pasal yang mengatur hak imunitas tersebut.
Perbaiki Kedudukan Hukum
Terhadap permohonan tersebut, Hakim Konstitusi Saldi Isra menyoroti kedudukan hukum Pemohon. “Ketika menjelaskan identitas Pemohon, Prinsipal dalam hal ini karyawan swasta. Tapi yang dijelaskan di dalam bukan karyawan swasta, tapi Ketua Umum PMII. Oleh karena itu, mungkin ini diganti saja dengan jabatan Ketua Umum Perhimpunan Mahasiswa Islam Indonesia. Supaya dia lebih sinkron dengan penjelasan identitas diri atau legal standing yang ada,” saran Saldi.
Hal lain Saldi mempertanyakan 10 pasal di UUD 1945 yang jadi batu uji dari Pemohon. “Ada 10 pasal dalam Konstitusi yang disebutkan, namun tidak muncul dalam posita Saudara. Kalau tidak ada, jangan dipaksakan, dihilangkan juga tidak apa-apa,” ucap Saldi.
Sementara itu, Hakim Konstitusi I Dewa Gede Palguna memberitahukan bahwa permohonan pengujian UU yang diajukan Pemohon sudah banyak didaftarkan ke MK. Ia menyarankan agar Pemohon bergabung dengan pemohon serupa.
“Namun kalau Anda mau tetap firm maju, Mahkamah akan layani. Kalau Anda pun misalnya, sudahlah menunggu putusan yang sudah ada. Karena sampai hari ini ada tiga, empat, pasal sama, hanya Pemohonnya yang beda. Bahkan sudah ada Pemohon dari partai juga yang mungkin Bapak juga mungkin sudah ikut memantau persidangannya. Itu dikembalikan kepada pilihan-pilihan yang Anda akan pilih. Kalau memang tetap maju, saran dari para Hakim tadi supaya dipertimbangkan,” tandas Palguna. (Nano Tresna Arfana/LA)