Pertanyaan-pertanyaan terlontar dalam sesi tanya-jawab saat Mahkamah Konstitusi (MK) menerima 25 orang dari Institut Leimena pada Jumat (23/3) siang di Aula Gedung MK. Salah satunya pertanyaan mengenai kemungkinan dilakukan pengujian kembali terhadap undang-undang yang sama.
“Apakah dimungkinkan melakukan pengujian kembali terhadap undang-undang yang sama? Saya katakan bisa, sepanjang alasan-alasan yang digunakan berbeda dan batu uji atau pasal-pasal dalam UUD 1945 yang digunakan juga berbeda,” jelas Peneliti MK Alboin Pasaribu yang menerima para rombongan.
Pertanyaan lain muncul mengenai penyelesaian persoalan Surat Keputusan Bersama (SKB) berdirinya rumah ibadah yang terjadi beberapa waktu lalu. Tentang hal ini, Alboin mengatakan bahwa persoalan ini sebenarnya bisa diajukan ke Mahkamah Agung karena Mahkamah Konstitusi hanya terbatas menguji undang-undang terhadap Undang-Undang Dasar.
“Produk hukum berdirinya rumah ibadah adalah Surat Keputusan Bersama. Jadi tidak bisa diajukan ke Mahkamah Konstitusi,” kata Alboin.
Selain itu, ada pertanyaan soal cara menjaga independensi hakim MK. Alboin mengungkapkan bahwa MK memiliki Dewan Etik yang bertugas mengawasi kinerja hakim MK. Jadi, ketika ada pengaduan, laporan mengenai kinerja hakim MK, maka hal itu bisa dilaporkan ke Dewan Etik MK. Di samping itu, ada Majelis Kehormatan MK yang dibentuk jika ditemukan pelanggaran etik oleh hakim MK. Pembentukan Majelis Kehormatan MK berdasarkan hasil pemeriksaan Dewan Etik MK.
Dalam pertemuan itu, Alboin menerangkan sejarah judicial review di dunia melalui Kasus Marbury vs Madison pada 1803. Kasus tersebut menginspirasikan pakar hukum tata negara asal Austria, Hans Kelsen melalui Teori Berjenjang untuk membentuk Mahkamah Konstitusi di Austria, yang akhirnya terbentuk pada 1920 sebagai MK pertama di dunia.
Selanjutnya, Alboin menuturkan sejarah judicial review di Indonesia bermula pada masa kemerdekaan Indonesia. Pada sidang Badan Penyelidik Usaha Persiapan Kemerdekaan (BPUPK) muncul perdebatan antara Mohammad Yamin dengan Soepomo. Yamin mengusulkan Balai Agung perlu diberikan kewenangan untuk membanding undang-undang, namun Soepomo menentang gagasan Yamin. Alasannya, Indonesia belum menganut pemisahan kekuasaan tetapi pembagian kekuasaan. Selain itu, ketika itu belum banyak sarjana hukum yang menguasai hukum tata negara.
Singkat cerita, sambung Alboin, saat terjadi amendemen UUD 1945 pada 2002 muncul kembali gagasan perlunya dibentuk lembaga penguji undang-undang. Hingga akhirnya pada 13 Agustus 2003 terbentuk Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia (MKRI) dengan empat kewenangan, yaitu menguji undang-undang terhadap UUD 1945, memutus sengketa antara lembaga negara yang kewenangannya diberikan oleh UUD, memutus pembubaran parpol, memutus sengketa hasil Pemilu. Selain itu, MK memilliki kewajiban memutus pendapat DPR apabila Presiden dan atau Wakil Presiden diduga melakukan pelanggaran hukum.
Lebih lanjut, Alboin menerangkan hakim konstitusi yang berjumlah 9 orang, berasal dari unsur Pemerintah, DPR dan Mahkamah Agung. Selain itu, dijelaskan syarat menjadi hakim konstitusi, yaitu memiliki integritas dan kepribadian yang tidak tercela, adil, negarawan yang menguasai Konstitusi dan ketatanegaraan serta tidak merangkap sebagai pejabat negara. Hal ini sesuai dengan Pasal 24C ayat (5) UUD 1945. (Nano Tresna Arfana/LA)