Perbedaan pengaturan proporsi antara anggaran belanja pemerintah pusat dan anggaran transfer ke daerah dan dana desa dalam Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2017 tentang Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara Tahun Anggaran 2018 (UU APBN 2018) bertentangan dengan UUD 1945. Hal tersebut disampaikan oleh Guru Besar Hukum Tata Negara Universitas Gadjah Mada Denny Indrayana selaku Ahli yang dihadirkan Pemohon dalam sidang lanjutan uji materiil Pasal 15 ayat 3, Kamis (22/3) di Ruang Sidang Pleno MK.
Dalam keterangannya, Denny menjabarkan bahwa prinsip dasar dalam UUD 1945 terkait APBN dan Keuangan Negara adalah unsur keterterbukaan dan bertanggung jawab dan untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat (Pasal 23 ayat (1)) dan adanya hubungan keuangan pusat dan daerah yang diatur serta dilaksanakan secara adil dan selaras (Pasal 18A ayat (2)). Hal yang perlu dicermati, jelas Denny, dalam Pasal 18A UU APBN mengatur perubahan anggaran belanja pemerintah pusat, namun tidak satu pun pasal di dalam UU tersebut yang mengatur perubahan anggaran transfer ke daerah dan dana desa.
“Ketidaksamaan pengaturan dalam UU Nomor 15/2017 itu menimbulkan persoalan konstitusional karena melanggar ketentuan Pasal 18A ayat (2) UUD 1945 yang mensyaratkan hubungan keuangan pusat dan daerah diatur dan dilaksanakan secara adil dan selaras,” terang Denny di hadapan sidang yang dipimpin Wakil Ketua MK Anwar Usman tersebut.
Selanjutnya, Denny mencermati bahwa frasa “penundaan dan/atau pemotongan” hanya terkait penyaluran anggaran transfer ke daerah dan dana desa saja. Menurutnya, frasa tersebut jelas sebagai alat kontrol pemerintah pusat atas pengelolaan keuangan daerah. Namun, pengaturan dan pelaksanaannya harus tetap dipastikan tidak bertentangan dengan UUD 1945.
Mekanisme Perubahan dan Sanksi
Terkait dengan frasa “penundaan dan/atau pemotongan” pada pasal a quo, Denny menyebut mekanisme perubahan tetap dilakukan dengan melibatkan DPD, tidak hanya DPR. Denny menjelaskan meski frasa “penundaan dan/atau pemotongan” dalam UU aquo telah melalui mekanisme persetujuan DPR, namun tetaplah terkandung persoalan konstitusional karena sanksi yang dijatuhkan langsung dapat berdampak luas pada berkurangnya anggaran daerah dan terhambatnya pembangunan di daerah.
“Kami berpandangan jika “penundaan dan/atau pemotongan” diperlukan sebagai alat kontrol pemerintah pusat terhadap daerah harus ada mekanisme yang memastikan sanksi dijatuhkan pada daerah yang bertul-betul melanggar, sanksi dilakukan bertahap, dan sanksi diterapkan bagi APBD tahun anggaran berikutnya,” terang Denny.
HubunganPusat dan Daerah
Pada kesempatan yang sama Dosen Hukum Tata Negara dari Universitas Gadjah Mada Zainal Arifin Mochtar dalam keterangannya mencermati pada hubungan keuangan pemerintah pusat dan daerah. Dalam konsep negara kesatuan, jelas Zainal, adanya hubungan pemerintah pusat dan daerah sebagaimana dinyatakan Pasal 18 ayat (1) UUD 1945 bahwa Indonesia “dibagi” atas daerah provinsi dan kabupaten/kota. Demikian pula dengan hubungan keuangan, yang pada Pasal 18 ayat (2) bahwa kata “dibagi” menyatakan adanya konsep demokratis penyelenggaraan pemerintahan di daerah yang membutuhkan keuangan dilaksanakan secara adil.
Selain itu, Zainal menerangkan negara harus membangun relasi yang kuat dengan daerah dalam urusan keuangan yang tergambar dari terlibatnya daerah dalam penyusunan APBN. Dimulai dari inisiasi aspirasi di daerah yang dikumpulkan oleh pemerintah pusat dengan keberadaan DPD dalam pengawasan secara terbatas terhadap APBN. Artinya pula, tindakan apapun yang dilakukan pemerintah yang bersifat mengubah yang sudah digariskan dalam APBN adalah tindakan yang tidak pas dengan konsepsi ketatanegaraan.
“Oleh karena produk APBN dan turunannya sudah menjadi kesepakatan bersama, mengubah dalam bentuk pemotongan akan sangat berimplikasi pada pengubahan sesuatu yang telah disepakati antara pemerintah dan DPR dalam legislasi APBN,” urainya Zainal.
Sebelumnya, Pemohon yang tergabung dalam Gerakan G20 Mei merupakan perkumpulan warga Kabupaten Kutai Timur yang terdiri atas berbagai kalangan profesi. Dalam permohonannya, Pemohon mempermasalahkan pemotongan maupun penundaan anggaran oleh pemerintah pusat untuk pemerintah daerah.Para Pemohon menguraikan ketentuan a quo telah merugikan hak konstitusionalnya karena tidak mendapatkan transfer uang dari pemerintah pusat secara adil dan selaras berdasarkan undang-undang. (Sri Pujianti/LA)