Ketentuan penahanan sebagaimana tercantum dalam Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP) tidak melanggar asas praduga tak bersalah (presumption of innocence). Hal tersebut disampaikan pakar hukum Universitas Indonesia Topo Santoso yang dihadirkan Pemerintah sebagai ahli dalam sidang lanjutan uji materiil Pasal 20 ayat (1) dan ayat (2) KUHAP pada Rabu(21/3) di Ruang Sidang Pleno MK.
Dalam keterangannya, Topo menyebut konsep penahanan dalam KUHAP dilakukan pada tahap penyidikan, penuntutan, dan pemeriksaan di pengadilan atau di beberapa literatur dikenal sebagai pretrial detention atau trial detention. Hal ini, lanjut Topo, bukanlah suatu pemidanaan atau sentencing, juga bukan suatu pemenjaraan atau imprisonment sehingga tidak melanggar prinsip praduga tak bersalah atau presumption of innocence.
Menurut Topo, konsep penahanan seperti itu bukan untuk kepentingan pemidanaan, melainkan untuk kepentingan pemeriksaan, penyidikan, penuntutan dan proses di pengadilan. “Penahanan semacam ini dilakukan bukan untuk mencapai tujuan pemidanaan, seperti retributive/special deterrence/general deterrence, rehabilitation, dan lain sebagainya, melainkan untuk kepentingan pemeriksaan penyidikan, kepentingan penuntutan, dan kepentingan pemeriksaan di pengadilan. Sifatnya bukan punitive, melainkan untuk alasan tertentu seperti mencegah tersangka atau terdakwa melarikan diri, menghilangkan alat bukti, mengulangi perbuatannya, dan lain sebagainya,” urainya.
Topo melanjutkan penahanan tidaklah dapat dikatakan melanggar prinsip praduga tak bersalah merujuk pada Konvensi HAM Eropa Tahun 1950. Dalam konvensi tersebut, lanjutnya, diatur adanya asas praduga tak bersalah pada Pasal 6 ayat (2), juga hak kebebasan pada Pasal 5 ayat (1). Akan tetapi, pada saat yang bersamaan, konvensi tersebut juga menerima pembatasan atas hak kebebasan tersebut.
“Dengan kata lain, penahanan bisa dijustifikasi dengan sejumlah persyaratan yang diatur di Pasal 5 konvensi tersebut. Jadi, adanya penahanan bisa berdampingan dengan presumption of innocence dan hak atas kemerdekaan, sepanjang memenuhi syarat-syarat tertentu dalam undang-undangnya,” tukasnya.
Terkait keterangan tersebut, Hakim Konstitusi Saldi Isra mempertanyakan sekiranya terdapat kasus bahwa seseorang yang ditahan justru dinyatakan tidak bersalah oleh pengadilan, padahal telah menjalani masa penahanan seperti yang dipermasalahkan Pemohon. “Proses lebih lanjut penahanan itu diakumulasi, jika dia bersalah, diakumulasi dengan masa hukuman berikutnya. Bagaimana menjelaskan secara legal argumen bahwa sebetulnya penahanan itu bukan bagian dari pemidanaan ketika masa tahanan itu dihitung sebagai bagian dari lamanya menjalankan masa pidana?” tanya Saldi.
Menjawab pertanyaan tersebut, Topo menyebut sudah selayaknya dan sudah seharusnya orang yang dinyatakan bersalah dan kemudian dijatuhi hukuman penjara harusnya dikurangi masa penahanan, sehingga diperhitungkan untuk masa hukumannya. Ia menyebut harus ada proses yang ketat agar tidak sembarang orang bisa ditahan.
“Kalau tidak ada alasan-alasan yang masuk akal, yang pantas, yang sesuai, yang membuat orang itu pantas untuk ditahan, sebaiknya tidak dilakukan penahanan. Sehingga, sebetulnya ketentuan dalam KUHAP dengan membatasi tindak pidana apa saja yang tersangka atau terdakwa yang boleh ditahan, kemudian alasan-alasan apa saja yang boleh dilakukan penahanan, yaitu tiga tadi, melarikan diri, kemudian menghilangkan barang bukti, dan mengulang, dan juga bahwa orang itu memang ada bukti yang kuat bahwa dia adalah pelaku tindak pidananya, maka barulah dilakukan penahanan,” urainya.
Sesuai Ketentuan Hukum
Dalam sidang yang sama, Pemerintah juga menghadirkan pakar hukum Universitas Muhammadiyah Chairul Huda menjelaskan mengenai penahanan yang dilakukan oleh penyidik. Menurut Chairul, sehubungan dengan permohonan uji materiil yang dikaitkan dengan kewenangan penyidik dalam melakukan penahanan, ia melihat dua permasalahan, yaitu wilayah norma yang menjadi kewenangan Mahkamah dan wilayah pelaksanaan dari penahanan yang menjadi kewenangan hakim praperadilan.
Berkenaan dengan penahanan dalam ranah norma, apabila dilihat pada Pasal 28J ayat (2), penahanan dalam konteks ini adalah wilayah undang-undang. Jadi, pemberian kewenangan dan mekanisme pengendalian dan prosedurnya sudah diakomodir KUHAP yang telah memberikan kewenangan bagi berbagai pejabat untuk melakukan penahanan termasuk yang dilakukan oleh penyidik. Dengan demikian, jelas Chairul, intinya yang melakukan penahanan diberi wewenang oleh undang-undang.
“Sehingga konstitusionalitasnya adalah bukan masalah penahanan yang harus dilakukan berdasarkan izin hakim atau tidak, tetapi lebih kepada ada atau tidaknya undang-undang yang memberikan kewenangan pada penyidik untuk melakukan penahanan,” sampai Chairul.
Berkaitan dengan pasal yang diujikan, Chairul mencermati secara aspek geografis, pembentukan KUHAP memberikan kewenangan pada penyidik untuk melakukan penahanan tidak terbatas pada domain hakim saja. “Hal ini mengingat luasnya wilayah Indonesia dengan kondisi pengadilan yang hanya ada di ibu kota sehingga dapat saja menghambat proses penegakan hukum kalau terpusat hanya pada hakim,” jelas Chairul.
Dalam permohonan sebelumnya, Sutarjo yang berprofesi sebagai pengacara mengajukan permohonan Nomor 4/PUU-XVI/2018 karena penahanan yang dilakukan penyidik Polda Jatim terhadap dirinya. Sebelumnya, pemohon telah melaporkan Mashudi, yang berprofesi sebagai notaris/PPAT, sehubungan dengan sengketa jual beli tanah tambak yang melibatkan klien pemohon. Setelahnya, Pemohon menerima surat perintah penahanan karena Mashudi melaporkan kembali Pemohon dan Klien Pemohon dengan dugaan tindak pidana pemalsuan dan/atau fitnah dan/atau pengaduan palsu. Pemohon mendalilkan bentuk perlindungan terhadap martabat seseorang salah satunya diwujudkan dengan adanya jaminan hak seseorang tidak boleh ditangkap dan ditahan secara sewenang-wenang. Sebagaimana ditegaskan oleh Pasal 9 Universal Declaration of Human Rights (UDHR) 1948.
Menurut Pemohon, penahanan adalah perampasan kemerdekaan seseorang dan seharusnya pembentuk UU memberikan kontrol terhadap aparat penegak hukum dalam melakukan penahanan agar tidak terjadi pelanggaran hak asasi manusia. Apabila seorang tersangka kooperatif, tidak mempersulit penyidikan, tidak melarikan diri dalam penyidikan, penyidik maupun Jaksa Penuntut Umum (JPU) tetap saja bisa melakukan penahanan. Faktanya, seringkali kewenangan penahanan menjadi sarana transaksional, tergantung dari penyidik maupun JPU. Namun demikian, dalam hal ini, tersangka tidak diberikan hak untuk membela diri agar tidak dilakukan penahanan.
Pada akhir persidangan, Wakil Ketua MK Anwar Usman menyampaikan agar Pemohon dan Kuasa Presiden menyerahkan kesimpulan selambatnya pada Kamis, 29 Maret 2018 pukul 10.00 WIB kepada Kepaniteraan MK. (Sri Pujianti/LA)