Penerapan sistem informasi, komunikasi, dan teknologi (ICT) peradilan dapat mempermudah akses bagi para pihak dan masyarakat untuk memperoleh keadilan, khususnya terkait proses penanganan perkara yang terbuka dan akuntabel. Secara khusus, penggunaan ICT di Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia (MKRI) telah memberikan upaya perlindungan dan penegakan hak-hak dasar warga negara menjadi lebih optimal.
Demikian penjelasan yang disampaikan oleh Ketua MK Arief Hidayat, dalam Kuliah Umum bertajuk “Mahkamah Konstitusi Indonesia dan Penggunaan Teknologi Informasi untuk Melindungi Hak-Hak Dasar Warga Negara” di Université Paris 1 Panthéon-Sorbonne, Perancis, pada Rabu (21/3).
“Dengan penggunaan ICT di Mahkamah Konstitusi Indonesia, maka upaya setiap warga negara untuk mempertahankan dan melindungi hak-hak dasarnya yang tertuang di dalam Konstitusi akan semakin mudah. Selain itu, penggunaan ICT dalam proses persidangan akan sangat membantu MK mempercepat penyelesaian perkara,” jelas Arief di hadapan para dosen dan mahasiswa Panthéon-Sorbonne University.
Dalam pemaparannya, Ketua MK juga menguraikan sepuluh sistem ICT yang telah diterapkan di MKRI, yaitu permohonan online; e-Registrasi perkara; persidangan jarak jauh; sistem tracking perkara; video streaming; risalah dan rekaman persidangan; putusan MK; anotasi putusan; e-Minutasi; dan aplikasi digital. Pengembangan sepuluh sistem ICT ini diharapkan dapat memberikan akses terhadap peradilan (access to court) dan akses terhadap keadilan (access to justice) yang lebih baik lagi kepada masyarakat luas.
“Putusan-putusan penting atau landmark decisions yang dikeluarkan oleh Mahkamah Konstitusi Indonesia beserta ikhtisarnya dalam versi Bahasa Inggris juga dikirimkan dan telah termuat di dalam CODICES database Venice Commission of the Council of Europe. Sehingga, semua putusan tersebut dapat diakses secara mudah oleh siapa pun dari seluruh penjuru dunia, termasuk dari negara-negara di Eropa,” pungkas Arief menguraikan penjelasannya mengenai putusan-putusan MK Indonesia yang telah menjadi rujukan bagi negara lain.
Selain memberikan kuliah umum, Arief yang didampingi oleh Sekretaris Jenderal MK M. Guntur Hamzah, juga melakukan penjajakan kerja sama dengan Panthéon-Sorbonne University guna meningkatkan kapasitas dan kapabilitas sumber daya manusia di MK.
“Sembilan hakim konstitusi memiliki keterbatasan dalam memutus perkara, sehingga para peneliti, rapporteurs, dan panitera pengganti juga dituntut untuk memperdalam dan memperluas pengetahuannya manakala hakim memerlukan pandangan-pandangan lain. Meskipun berbagai pandangan tersebut sifatnya tidak mengikat, tetapi akan sangat bermanfaat bagi para Hakim dalam memutus suatu perkara,” ungkap Arief menjawab salah satu pertanyaan yang diajukan mahasiswa dalam sesi tanya jawab. (YN/LA)